Penulis: Masanda Hananisa & Mani Mani
Editor: Masanda Hananisa
Daftar karakter: Isao Hironori (Masanda Hananisa), Yoshihiro Renge (Mani Mani)
Jumlah kata: 3011 kata
Rangkuman: Renge memiliki rasa penasaran terhadap pemuda yang ia lihat dansa kemarin, secara tidak sadar ia pun mengikuti Hironori dan berakhir melanjutkan percakapan mereka di kantin sekolah.
Trigger warning: none
*Adagio: suatu gerakan lambat dalam ballet dengan penuh keanggunan dan kelenturan tubuh
Editor: Masanda Hananisa
Daftar karakter: Isao Hironori (Masanda Hananisa), Yoshihiro Renge (Mani Mani)
Jumlah kata: 3011 kata
Rangkuman: Renge memiliki rasa penasaran terhadap pemuda yang ia lihat dansa kemarin, secara tidak sadar ia pun mengikuti Hironori dan berakhir melanjutkan percakapan mereka di kantin sekolah.
Trigger warning: none
*Adagio: suatu gerakan lambat dalam ballet dengan penuh keanggunan dan kelenturan tubuh
Bel sekolah berbunyi. Pertanda waktunya istirahat.
Guru yang berada di podium membubarkan kelas dan beranjak meninggalkan ruangan. Hironori melepas nafas lega.
Bukan waktu yang dinantikannya, sih. Dia lebih menantikan waktu pulang sekolah, di mana ia bisa segera menuju ke studio dan berdansa... jika tidak terpakai.
Untuk makan siang hari ini, ia membawa uang untuk membeli makanannya di kantin. Sudah diputuskan, Hiro berdiri dari bangkunya dan segera meninggalkan kelas, menuju ke kantin.
"Menu makanan hari ini apa ya?" Gumam Hiro pelan. Ia pun membuka pintu ruangan dan melangkah keluar.
Hari ini orangtua Renge sibuk, jadi mereka tidak sempat membuatkan bekal untuknya. Karena itu ia juga berjalan menuju kantin untuk membeli makan siang.
Saat itu juga Renge melihat Hiro berjalan sendiri menuju ke kantin. Ia pun teringat percakapan mereka tadi terputus oleh bel masuk kelas, tentang ia menyembunyikan hobi menarinya.
Renge sedikit tersipu mengingat dansa Hiro kemarin, dan iapun segera mengesampingkan fakta pemuda tersebut menari tanpa memakai baju. Lalu ia teringat kembali dengan kesedihan yang diungkapkan dengan gerakannya yang halus itu.
Apakah orang ini sedang dalam masalah? Pikir Renge yang tanpa sadar mengekori Hiro, matanya tertuju pada teman sekelasnya dipenuhi dengan rasa ingin tahu.
Hiro berjalan santai menuju kantin dan mendengar langkah sepatu dari belakangnya. Seperti ada seseorang yang mengikutinya. Ia pun berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
Lelaki berambut cokelat gelap itu melihat Renge beberapa langkah di belakangnya. Ia mengangkat sebelah alisnya. Tumben, batinnya. Biasanya dia hanya makan di kelas. Apa dia tidak membawa makanannya hari ini?
Mungkin Renge ingin menuju ke kantin juga.
Oh, atau, jika diperhatikan baik-baik dan diingat kembali, mungkin Renge masih ingin berbicara dengannya. Tampang wanita di belakangnya menatapnya seperti ada yang ingin dibicarakan padanya.
Hiro membalikkan badannya menghadap Renge, menyeringai padanya dan memiringkan kepalanya, "Masih soal tadi, kah?" Tanya Hiro.
Renge sedikit kaget ketika Hiro berbalik dan memanggilnya, pada saat itu lah ia sadar kalau ia sedang mengikuti Hiro.
"Ah maaf--- tanpa sadar jadi mengikutimu," Renge sedikit menunduk karena malu, tapi ia juga mengangguk pada pertanyaan Hiro.
Hiro mendengus. Namun ia masih sedikit bingung dengan wanita ini, karena belum ada yang pernah yang tertarik dengan membicarakan soal hobi tersembunyinya itu.
Mungkin karena... ya, dia menyembunyikannya, jadi tidak ada yang tahu. Jika tidak ada yang tahu, siapa juga yang akan membicarakannya?
Hiro menggeleng dalam hati.
Tetapi reaksi yang ia dapatkan dari seseorang yang melihatnya berdansa sangat diluar dugaannya. Dan ia tidak tahu niatan Renge; apakah dia mempunyai rencana dibalik obrolan ini? Apakah ia ingin berusaha membongkar rahasia terdalamnya mengenai hobi dansanya, lalu ia akan menyebarkan hal itu dan menjadi gosip satu kelas atau bahkan satu sekolah?
Atau sekadar ingin tahu?
Dari tampang polos Renge, mungkin ia hanya ingin tahu. Hiro tertawa kecil. Belum pernah kutemui orang macam ini, batinnya.
Hiro pun mengangkat jempol tangan kanannya dan mengarahkannya ke arah belakang, mengajak Renge berjalan dengannya ke kantin. "Kita bisa lanjut sambil makan di kantin." Ujarnya dengan senyum lebar sebelahnya. "Kau tidak membawa kotak makanmu hari ini?" Lanjutnya bertanya pada Renge.
Renge merasa lega ketika Hiro mengundangnya untuk makan bersama, syukurlah ia tidak membuat teman sekelasnya itu kesal. Ia pun mengangguk pada ajakan tersebut dan segera berjalan ke samping Hiro.
"Hari ini orangtuaku cukup sibuk, jadi tidak sempat membuatkan bekal." Balasnya.
Melihat Renge mulai mengikuti dirinya, Hiro mulai melangkah, melanjutkan perjalanannya ke kantin.
"Oh? Kupikir kau yang membuatnya sendiri," balas Hiro sambil menyeringai dan mengangkat alis sebelahnya, tatapannya menghadap ke depan jalan.
"Terkadang aku membuatnya sendiri juga kalau semuanya sedang sibuk, namun semalam aku tidak sempat mempersiapkan bahan-bahannya. Akhirnya tidak cukup waktu tadi pagi." Renge sedikit menundukkan kepalanya.
"Hmm," Hiro mendengung. Ia memang sedikit iri pada orang-orang yang bisa membuat makan siangnya sendiri. Hiro, sebagai anak tunggal yang sekarang tinggal tanpa kedua orangtuanya tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang memasak. Yang dapat ia lakukan hanyalah memasak air hingga mendidih. Itu saja.
Itulah mengapa ia tidak pernah membawa bekalnya sendiri, kecuali dibawakan oleh bibinya. Hiro sendiri pun tidak membuat usaha untuk belajar memasak. Tidak tertarik.
Namun iri. Sedikit.
Seiring menuruni tangga, ia bertanya kembali, "Mengapa kau lari ketika aku melihatmu kemarin?" Hiro yakin, tampangnya pada saat itu tidak mengintimidasi sama sekali. Bila iya, ia tidak menyadarinya.
Renge terdiam ketika mendengar pertanyaan tersebut, wajahnya sedikit memerah mengingat kejadian kemarin. "Se... sesungguhnya, aku tidak terlalu tahu mengapa... pada saat itu, aku sedikit panik saja." Ia sedikit memalingkan wajahnya dari Hiro.
Hiro hampir kesandung oleh kakinya sendiri ketika ia melangkahkan kakinya ke mata kaki tangga selanjutnya. Ia menoleh pada Renge dan membelalak, “Apa? Panik?” Tanya Hiro dengan terkejut.
“U-uwah! H-hati-hati, Isao-kun!” Renge pun ikutan kaget ketika Hiro hampir tersandung. Mereka sedang berada di tangga, akan sangat bahaya jika ada yang terjatuh disini.
Jawaban Renge membuat Hiro berpikir dalam-dalam. Apakah itu terkait dengan dansanya? Apakah ekspresinya memang begitu mengintimidasi sehingga membuat wanita ini takut dan lari? Memangnya kemarin ia sedang marah? Dia rasa dia tidak merasa seperti itu. Yaa, mungkin sedikit, namun itu karena ia frustasi terhadap dirinya sendiri. Tidak ada orang lain yang membuatnya marah pada hari itu. Dan tidak, jarang ada seseorang yang membuat Hiro marah, karena Hiro merupakan orang yang (sangat) sabar.
Justru wanita ini yang membuatnya panik kemarin!
Hiro menggeleng. Mungkin memang ada alasan lain dibalik mengapa Renge lari ketika ia melihatnya, namun ia tidak bisa menemukan alasan yang logis.
Karena Renge seorang wanita. Dan wanita sepertinya susah untuk berpikir logis.
Membalikkan pandangannya ke jalan di depannya, Hiro menghela napas, wajahnya mengerut dan mengangkat kedua bahunya, "Justru aku yang panik, tiba-tiba ada orang yang mengintipku seperti itu. Selama hidupku tidak ada yang pernah, walau pernah pun, mereka tidak seperti dirimu." Gerutu Hiro.
“Iya... sekali lagi aku minta maaf,” Renge kembali menundukan kepalanya entah sudah berapa kali ia lakukan hari ini. Tetapi ia kembali tertuju pada perkataan Hiro yang selanjutnya, ia merasa bingung dengan perkataannya dan menatap kembali pada pria disampingnya.
“Tidak seperti diriku?” Tanya siswi berambut ikal panjang itu.
Hiro melirik kepada Renge, “Ya, tidak seperti dirimu. Apa yang baru saja kau bilang tadi,” ia mengernyitkan dahinya. “Tidak dikatakan oleh mereka.” Lalu ia menolehkan kepalanya pada wanita kecil disampingnya, “Orang macam apa yang mengintip orang lain lalu meminta maaf?” Hiro bertanya terus terang dan mengangkat sebelah alisnya.
Benar-benar orang ini. Baru kali ini ia bertemu dengan wanita yang sepolos dan setulus ini. Dan seaneh ini.
“Karena...” Renge tiba-tiba bimbang menjawab. “...mengintip itu bukanlah tindakan yang baik.” Wajah Renge memerah sedikit lagi karena ia terdengar seperti orang mesum. Kemarin Renge memang melihat Hiro setengah telanjang, walaupun konteksnya ia sedang menari. Renge pun kembali menutup wajahnya lagi mengingat kejadian kemarin.
“Oh. Ya, aku memang setuju dalam hal itu...” Hiro menghentikan kalimatnya ketika ia melihat reaksi Renge.
Ada apa dengan dia, sih? Semakin ia bertanya kepada wanita ini, reaksinya semakin menjadi-jadi. Awalnya dia hanya menunduk, sekarang ia menutupi wajahnya. Hiro mengernyitkan dahinya, menatap Renge dengan bingung.
Mungkin ia merasa sangat bersalah sehingga ia seperti ini? Hiro berpikir Renge memang seharusnya merasa seperti itu. Sudah tahu mengintip hal yang salah, namun ia tetap melakukannya. Dan sudah membuat Hiro merasa cemas dengan sia-sia. Memang seharusnya Yoshihiro Renge merasa bersalah atas kelakuannya yang telah dilakukannya kemarin.
Tapi, rasanya ada hal lain. Hiro berusaha mencari alasan dibalik mengapa wanita ini bertingkah seperti ini, lalu alasan tersebut tidak ditemukan olehnya di wajah Renge. Tentu saja, dia sedang menutupi wajahnya. Bagaimana Hiro bisa mengamati wajahnya ketika wajahnya sedang ia tutup? Hiro mengangkat sebelah alisnya.
Hiro ingin menanyakan hal itu, namun sepertinya sudah cukup. Renge sepertinya sudah merasa tak nyaman dengan serangan pertanyaannya. Walaupun Hiro merasa ia tidak menyerangnya sama sekali. Lagipula, Renge seorang wanita. Dan wanita setidaknya berhak diberi sedikit jarak.
Hironori mengangkat kedua bahunya dan menghela nafas. Saat ia melakukan itu, mereka berdua sudah berada di depan kantin. Dia menyeringai dan menaruh tangan kanannya di pinggulnya.
"Baiklah! Mungkin kita sebaiknya beli makan siang dulu. Apa aku beli roti saja ya?" Kata Hiro, dengan sengaja sekaligus memanggil siswi disampingnya (Yoshi). Masih ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan, namun itu bisa dilanjut ketika mereka makan siang.
"O-oh, tak terasa sudah di kantin saja!" Renge berceteluk agar tidak terlalu canggung. "Mungkin aku akan mencoba set harian hari ini... Pilih sesuatu saja, Isao-kun, traktiranku hari ini," ujar Renge sambil tersenyum.
"Eh?" Hiro terlepas dari pikirannya dan menengok ke arah Renge. Apa yang telah barusan ia katakan? Traktir?
Ah, mungkin salah satu bentuk permintaan maafnya juga. Dan Hiro dengan senang hati menerimanya, apapun bentuknya yang dapat menguntungkan dirinya. Sebuah balas budi memang harus dimanfaatkan dengan baik.
Dan ia juga sadar bahwa Renge menghiraukan plesetan yang telah ia buat padanya.
Hiro mendengus dan membalas dengan menyeringai lebar, "Kau yakin? Kalau begitu, samakan saja makananku dengan punyamu."
Hiro pun melihat suasana kantin yang cukup ramai. "Aku akan mencari tempat duduk dan kau beli makanannya. Aku akan menunggumu disana," Hiro menunjuk ke arah baris meja yang masih ada beberapa bangku kosong tersedia untuk mereka berdua.
"Baiklah," ujar Renge tersenyum, ia pun pergi ke kasir untuk memesan makanan mereka.
Jika Hiro ikut serta dengan Renge untuk membeli makan siangnya, bisa saja bangku yang kosong tersebut telah diambil. Hiro langsung menuju ke tempat meja kosong yang ia lihat barusan dan menunggu Renge memesan makanan mereka.
Menu harian hari ini terdiri dari nasi kari, salad dan kudapan kecil lainnya. Renge memesan dua set dan menunggu makanannya disajikan. Beberapa saat ketika makanannya siap, ia membawa makanan tersebut ke meja mereka dan menaruhnya di tempat masing-masing.
"Terimakasih," ucap Hiro, mengucapkan "selamat makan" dan mulai memakan nasi kari yang dibeli oleh siswi yang duduk di depannya.
Sembari menelan makanannya, Hiro mengulang percakapan mereka tadi. "Jadi," mulainya dengan mengambil potongan saladnya. "Kau bilang sekali dua kali kau pernah... 'mengintip' orang berdansa di studio." Hiro tidak masalah mengucapkan kata 'dansa' di kantin; suasananya cukup ramai, suaranya juga tidak terlalu kencang yang hanya bisa di dengar oleh Renge. "Kau punya ketertarikan terhadap orang berdansa?" Tanyanya dengan mengangkat sebelah alisnya, dan memakan salad yang telah diambilnya.
Renge menghentikan makannya sejenak untuk membalasnya, "Aku sendiri tidak bisa menari, tapi aku cukup senang melihat orang menari," katanya sambil tersenyum.
“Oh ya?” Balas Hiro dengan menyeringai. “Apakah itu alasannya mengapa kau tetap melihatku disana sampai kau ketahuan olehku?” Lanjutnya dengan sedikit nada canda, seringainya semakin lebar, sambil memakan sesuap nasi karinya.
“Umm, sulit untuk dijelaskan...” ucap Renge sambil berpikir. “Aku tidak terlalu tahu banyak tentang menari, tapi menurutku dansa Isao-kun sangat menarik perhatianku."
Hiro mendengus. “Menarik perhatianmu, ya. Apakah karena aku seorang pria yang menari dengan gerakan feminin?” Tanya Hiro lagi.
Sedangkan yang lain, para lelaki b-boy, melakukan breakdance dengan gerakan “maskulin”, Hiro melakukan pirouette, allegro, arabesque, ballon, dan teknik-teknik dansa balet lainnya, walaupun sebenarnya dansa yang Hiro lakukan kemarin merupakan dansa modern, namun memang terdapat teknik balet di dalamnya. Salah satu alasan mengapa Hiro juga mendalami balet klasik.
“Hal tersebut bahkan tidak terlintas di pikiranku,” balas Renge dengan spontan. "Gerakanmu sedikit lembut Isao-kun, tapi feminin bukanlah kata yang akan kugunakan untuk menjelaskannya."
"Hmm," dengung Hiro sambil menelan makanannya. Respon Renge lagi-lagi diluar dugaannya, membuatnya bingung. Lalu ia teringat apa yang dikatakannya pada saat mereka berjalan menuju ke sini.
"Orang lain..." Hiro tersendat, pandangannya ke bawah seolah ia teralihkan. "Orang lain tertawa. Ketika melihatku berdansa. Mereka bilang aku seperti perempuan." Genggamannya pada sendok makannya semakin erat. Masih ada beberapa hal lain, namun penjelasan itu sudah cukup sebagai alasan mengapa ia menyembunyikan hobinya itu.
Lalu ia menatap Renge lurus-lurus. "Tapi kau tidak. Mengapa?" Tanya Hiro terus terang dengan nada serius, menajamkan matanya. Bukan bermaksud untuk mengintimidasi, ia hanya sangat heran dengan wanita ini. Di dunia ini, hanya ada satu wanita yang menerimanya sepenuh hati siapa dirinya. Dan wanita itu sudah tiada. Dan Hiro juga tidak sepenuhnya berharap ada orang lain yang menerimanya seperti orang itu.
Pikirnya sih, begitu.
Mendengar pertanyaan Hiro, Renge pun kembali berpikir. Kali ini sedikit lebih lama. Ketika ia menemukan jawabannya, Renge pun berucap, "Hmm... ini mungkin karena ayahku sangat menggemari kabuki dan kerap sering mengajak satu keluarga untuk pergi menonton pentas, dan disana lelaki memainkan peran perempuan." Jelas Renge sambil meminum tehnya. Setelah beberapa teguk, ia melanjutkan balasannya, "Dan menurutku, dalam seni itu tidak ada kaitannya dengan gender."
Hiro tercengang mendengar jawaban Renge. Ia membelalak lebar, seakan tidak percaya apa yang telah didengarnya.
Tidak ada kaitannya dengan gender.
Hiro mendengus, lalu melepas tawa. Ah, mungkin karena kepala keluarga Renge mempunyai kegemaran dalam seni pertunjukan, dia bisa berpikir seperti itu. Sangat berbeda dengan Hiro. Ia adalah anak tunggal dengan hobi seni, sedangkan sebenarnya ia merupakan keturunan dari keluarga pebisnis sukses. Dan disinilah ia berada, Isao Hironori, melakukan dansa dengan teknik balet dimana orang-orang berpikir bahwa balet hanya untuk perempuan saja. Lalu ia bertemu dengan wanita ini.
Wanita yang aneh ini. Yang baru saja ia kenal dan sudah membuatnya bingung sampai membuat kepalanya pusing. Berawal dari mengintipnya berdansa, lalu diikuti dengan reaksi dan jawaban yang sangat tidak terduga oleh Hiro.
Tawa Hiro semakin kencang. Tidak pernah selama hidupnya bertemu dengan orang semacam ini.
Apa yang akan ia lakukan dengan wanita ini?
Renge kaget ketika Hiro tertawa dengan lepas. Apakah ia mengatakan sesuatu yang lucu baginya? Atau justru ia menyinggungnya dan saking konyolnya ia tertawa selepas ini? Segala hal terlintas di benak Renge sambil melihat pria di depannya tertawa terbahak-bahak.
"Yoshihiro," panggil Hiro setelah tawanya mereda. Lalu ia menggelengkan kepalanya, "Aku harap semua orang bisa berpikir demikian." Hiro menghela nafas, lalu menatap Renge dengan tersenyum kecil, namun senyumnya tidak simetris. "Senang bisa kenal denganmu." Ucap Hiro dengan jujur. Dengan santainya, ia melanjutkan makan siangnya.
Segala kekhawatiran Renge pun terkesampingkan dengan mudah setelah ia melihat Hiro tersenyum kecil.
"S-senang berkenalan denganmu juga, Isao-kun," Renge membalas perkataannya dengan senyuman juga, walau dia masih bingung kenapa Hiro bisa tertawa selepas itu.
Tapi ya, lebih baik melihat orang tersenyum daripada cemberut, bukan?
Hiro membalas Renge dengan senyum lebar sebelahnya dan mendengus. Benar-benar wanita yang aneh. Hiro menggelengkan kepalanya.
"Jadi," mulai Hiro lagi seiring memakan nasi karinya yang sudah hampir habis. "Ayahmu senang dengan kabuki ya. Bagaimana denganmu, senang dengan kabuki juga, kah?” Tanya Hiro.
"Aku sendiri cukup senang menontonnya," jawab Renge.
“Atau bahkan kau sendiri adalah pemain kabuki?" Lanjut Hiro dengan canda.
Mendengar perkataan Hiro, Renge tertawa kecil, "Kabuki hanya dapat diperankan oleh lelaki. Jika aku mau terjun ke dunia teater aku harus mencoba takarazuka, dimana semuanya diperankan oleh perempuan."
Hiro merasa jantungnya berhenti berdetak ketika mendengar Renge tertawa. Baru kali ini ia mendengar wanita ini tertawa. Dan ia merasa mendengar suaranya membuat suasana hatinya semakin membaik.
Hiro pun membalas serta dengan tawa. "Tentu saja," balas Hiro. "Dan, kau tertarik untuk terjun ke sana?" Lanjutnya, sambil meneguk minumannya.
"Aku sendiri tidak terlalu pandai berakting, mungkin aku akan jadi penonton saja.”
Hiro tertawa kecil. "Ya, tentu saja. Dilihat dari tampangmu juga, kau sepertinya... seseorang yang sangat jujur." Hiro menyeringai. "Seperti diriku." Tambahnya terus terang. “Lalu, kau sendiri melakukan apa? Maksudku, dalam seni. Atau kau hanya tertarik dalam seni saja?” Hiro melanjutkan pertanyaannya. Tidak biasanya dia banyak bicara dan banyak bertanya pada seseorang, namun jika ia ada rasa penasaran, Hiro ingin tahu sedikit lebih banyak.
“Aku cukup senang melukis,” balas Renge sambil tersenyum. “Seni melukis ada di keluargaku sejak turun temurun, jadi tanpa sadar aku pun ikut terlibat di dalamnya.”
"Keluargamu pelukis? Wow," Hiro membelalak seolah ia terkagum. Untuk sejujurnya, jika Hiro bisa memilih, ia merasa lebih baik untuk disuruh menjadi seorang pelukis dibanding seorang pebisnis. Pebisnis dengan aturan yang mengikat, kedisiplinan, belum lagi masalah yang datang dari segala arah.
Ya, menjadi pelukis memang lebih baik. Namun sekarang, ia hanya berdansa.
"Aku iri," balas Hiro terus terang. "Aku harap aku juga terlahir di keluarga seniman." Hiro terkekeh kecil.
Aku iri. Kalimat ini menusuk hati Renge, ia teringat kembali dengan orangtua dan adiknya. Renge segera menepis pikiran tersebut dan mengeluarkan senyum kecil. "Iya, aku cukup beruntung," ujarnya dengan sedikit kosong dan pandangannya seolah-olah teralihkan.
Kali ini, Hiro mengangkat kedua alisnya. Ia menyadari perubahan suara Renge ketika ia membalas mengenai keiriannya terhadap keluarganya. Mungkin, soal itu merupakan topik yang sensitif.
Apapun mengenai keluarga memang selalu sensitif. Terutama keluarganya sendiri. Bahkan Hiro pun tidak tahu apakah ia masih mempunyai keluarga. Jika ini tentang keluarga kandung, Hiro sudah tidak memiliki siapa-siapa.
Ya, keluarga Hironori memang yang sangat... rumit. Namun mendengar balasan Renge, Hiro tidak membuat komentar apapun.
Hiro pun melanjutkan pertanyaannya, "Jika keluargamu pelukis, apakah keluargamu mempunyai galeri seni sendiri?"
Renge pun menatap Hiro kembali, "Ya, keluargaku memiliki galeri seni, lokasinya cukup dekat dengan studio dansa yang biasa kamu kunjungi."
"Oh ya? Mungkin aku pernah melihatnya sekali-dua kali, tapi aku belum menyadari jika galeri tersebut punya keluargamu," jelas Hiro. "Mungkin aku harus ke sana lagi suatu hari." Lanjutnya dengan menyeringai lebar.
"Jika ingin mampir bilang saja, aku dengan senang hati akan membawamu kesana" kata Renge, wajahnya kembali tersenyum.
Hiro menyeringai lebar mendengar undangan dari Renge. "Tentu saja! Mungkin suatu saat akulah yang akan mengintipmu melukis," sahut Hiro dengan canda. Walaupun wanita ini sudah membuatnya merasa cemas karena Renge telah melihatnya berdansa, namun yah, setidaknya ia sudah meminta maaf. Buat apa memikirkan masalah yang sudah selesai? Dan setidaknya, mungkin wanita ini tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Namun Hiro masih sedikit skeptis.
Bel sekolah berbunyi, waktunya masuk sesi pelajaran. Tak terasa waktunya telah habis mengobrol dengan seorang wanita. Ini belum terjadi sebelumnya dalam hidupnya.
Mungkin jika ia bisa dekat dengan wanita ini, akan ada banyak hal baru yang akan ia alami. Namun ia menyingkirkan pikiran itu, karena ia kurang yakin ia bisa dekat dengan Renge.
Karena wanita ini aneh. Dalam beberapa hal.
Renge sudah lama tidak menghabiskan waktu makan siangnya dengan orang lain. Beberapa hari sebelumnya, ia sibuk mengerjakan tugas dari OSIS. Berawal dari permintaan maaf berubah menjadi obrolan yang cukup menyenangkan, Renge senang ia tidak membuat lelaki depannya kesal atas perbuatannya. Sepertinya.
Hironori berdiri dari bangkunya dan melihat Renge, "Sudah waktunya masuk kelas. Tak terasa, ya?" Ujarnya dengan tertawa kecil. "Kita harus lekas, karena aku tidak mau guru kita menceramahiku mengenai telat waktu masuk kelas."
Perempuan berambut ikal itu mengeluarkan tawa kecil mendengar perkataan Hiro, “Setelah ini kelas Ueda-sensei, bukan? Dia memang lumayan galak," katanya sambil membereskan meja dan mengikuti teman barunya berjalan menuju kelas.
Mendengar nama guru tersebut, muka Hiro berubah suram. "Oh, sial, kau benar, kita harus benar-benar lekas!" Balas Hiro dengan nada sedikit panik yang dipalsukan, lalu Hiro mempercepat langkahnya menuju kelas, meninggalkan Renge beberapa langkah di belakang.
Guru yang berada di podium membubarkan kelas dan beranjak meninggalkan ruangan. Hironori melepas nafas lega.
Bukan waktu yang dinantikannya, sih. Dia lebih menantikan waktu pulang sekolah, di mana ia bisa segera menuju ke studio dan berdansa... jika tidak terpakai.
Untuk makan siang hari ini, ia membawa uang untuk membeli makanannya di kantin. Sudah diputuskan, Hiro berdiri dari bangkunya dan segera meninggalkan kelas, menuju ke kantin.
"Menu makanan hari ini apa ya?" Gumam Hiro pelan. Ia pun membuka pintu ruangan dan melangkah keluar.
Hari ini orangtua Renge sibuk, jadi mereka tidak sempat membuatkan bekal untuknya. Karena itu ia juga berjalan menuju kantin untuk membeli makan siang.
Saat itu juga Renge melihat Hiro berjalan sendiri menuju ke kantin. Ia pun teringat percakapan mereka tadi terputus oleh bel masuk kelas, tentang ia menyembunyikan hobi menarinya.
Renge sedikit tersipu mengingat dansa Hiro kemarin, dan iapun segera mengesampingkan fakta pemuda tersebut menari tanpa memakai baju. Lalu ia teringat kembali dengan kesedihan yang diungkapkan dengan gerakannya yang halus itu.
Apakah orang ini sedang dalam masalah? Pikir Renge yang tanpa sadar mengekori Hiro, matanya tertuju pada teman sekelasnya dipenuhi dengan rasa ingin tahu.
Hiro berjalan santai menuju kantin dan mendengar langkah sepatu dari belakangnya. Seperti ada seseorang yang mengikutinya. Ia pun berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
Lelaki berambut cokelat gelap itu melihat Renge beberapa langkah di belakangnya. Ia mengangkat sebelah alisnya. Tumben, batinnya. Biasanya dia hanya makan di kelas. Apa dia tidak membawa makanannya hari ini?
Mungkin Renge ingin menuju ke kantin juga.
Oh, atau, jika diperhatikan baik-baik dan diingat kembali, mungkin Renge masih ingin berbicara dengannya. Tampang wanita di belakangnya menatapnya seperti ada yang ingin dibicarakan padanya.
Hiro membalikkan badannya menghadap Renge, menyeringai padanya dan memiringkan kepalanya, "Masih soal tadi, kah?" Tanya Hiro.
Renge sedikit kaget ketika Hiro berbalik dan memanggilnya, pada saat itu lah ia sadar kalau ia sedang mengikuti Hiro.
"Ah maaf--- tanpa sadar jadi mengikutimu," Renge sedikit menunduk karena malu, tapi ia juga mengangguk pada pertanyaan Hiro.
Hiro mendengus. Namun ia masih sedikit bingung dengan wanita ini, karena belum ada yang pernah yang tertarik dengan membicarakan soal hobi tersembunyinya itu.
Mungkin karena... ya, dia menyembunyikannya, jadi tidak ada yang tahu. Jika tidak ada yang tahu, siapa juga yang akan membicarakannya?
Hiro menggeleng dalam hati.
Tetapi reaksi yang ia dapatkan dari seseorang yang melihatnya berdansa sangat diluar dugaannya. Dan ia tidak tahu niatan Renge; apakah dia mempunyai rencana dibalik obrolan ini? Apakah ia ingin berusaha membongkar rahasia terdalamnya mengenai hobi dansanya, lalu ia akan menyebarkan hal itu dan menjadi gosip satu kelas atau bahkan satu sekolah?
Atau sekadar ingin tahu?
Dari tampang polos Renge, mungkin ia hanya ingin tahu. Hiro tertawa kecil. Belum pernah kutemui orang macam ini, batinnya.
Hiro pun mengangkat jempol tangan kanannya dan mengarahkannya ke arah belakang, mengajak Renge berjalan dengannya ke kantin. "Kita bisa lanjut sambil makan di kantin." Ujarnya dengan senyum lebar sebelahnya. "Kau tidak membawa kotak makanmu hari ini?" Lanjutnya bertanya pada Renge.
Renge merasa lega ketika Hiro mengundangnya untuk makan bersama, syukurlah ia tidak membuat teman sekelasnya itu kesal. Ia pun mengangguk pada ajakan tersebut dan segera berjalan ke samping Hiro.
"Hari ini orangtuaku cukup sibuk, jadi tidak sempat membuatkan bekal." Balasnya.
Melihat Renge mulai mengikuti dirinya, Hiro mulai melangkah, melanjutkan perjalanannya ke kantin.
"Oh? Kupikir kau yang membuatnya sendiri," balas Hiro sambil menyeringai dan mengangkat alis sebelahnya, tatapannya menghadap ke depan jalan.
"Terkadang aku membuatnya sendiri juga kalau semuanya sedang sibuk, namun semalam aku tidak sempat mempersiapkan bahan-bahannya. Akhirnya tidak cukup waktu tadi pagi." Renge sedikit menundukkan kepalanya.
"Hmm," Hiro mendengung. Ia memang sedikit iri pada orang-orang yang bisa membuat makan siangnya sendiri. Hiro, sebagai anak tunggal yang sekarang tinggal tanpa kedua orangtuanya tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang memasak. Yang dapat ia lakukan hanyalah memasak air hingga mendidih. Itu saja.
Itulah mengapa ia tidak pernah membawa bekalnya sendiri, kecuali dibawakan oleh bibinya. Hiro sendiri pun tidak membuat usaha untuk belajar memasak. Tidak tertarik.
Namun iri. Sedikit.
Seiring menuruni tangga, ia bertanya kembali, "Mengapa kau lari ketika aku melihatmu kemarin?" Hiro yakin, tampangnya pada saat itu tidak mengintimidasi sama sekali. Bila iya, ia tidak menyadarinya.
Renge terdiam ketika mendengar pertanyaan tersebut, wajahnya sedikit memerah mengingat kejadian kemarin. "Se... sesungguhnya, aku tidak terlalu tahu mengapa... pada saat itu, aku sedikit panik saja." Ia sedikit memalingkan wajahnya dari Hiro.
Hiro hampir kesandung oleh kakinya sendiri ketika ia melangkahkan kakinya ke mata kaki tangga selanjutnya. Ia menoleh pada Renge dan membelalak, “Apa? Panik?” Tanya Hiro dengan terkejut.
“U-uwah! H-hati-hati, Isao-kun!” Renge pun ikutan kaget ketika Hiro hampir tersandung. Mereka sedang berada di tangga, akan sangat bahaya jika ada yang terjatuh disini.
Jawaban Renge membuat Hiro berpikir dalam-dalam. Apakah itu terkait dengan dansanya? Apakah ekspresinya memang begitu mengintimidasi sehingga membuat wanita ini takut dan lari? Memangnya kemarin ia sedang marah? Dia rasa dia tidak merasa seperti itu. Yaa, mungkin sedikit, namun itu karena ia frustasi terhadap dirinya sendiri. Tidak ada orang lain yang membuatnya marah pada hari itu. Dan tidak, jarang ada seseorang yang membuat Hiro marah, karena Hiro merupakan orang yang (sangat) sabar.
Justru wanita ini yang membuatnya panik kemarin!
Hiro menggeleng. Mungkin memang ada alasan lain dibalik mengapa Renge lari ketika ia melihatnya, namun ia tidak bisa menemukan alasan yang logis.
Karena Renge seorang wanita. Dan wanita sepertinya susah untuk berpikir logis.
Membalikkan pandangannya ke jalan di depannya, Hiro menghela napas, wajahnya mengerut dan mengangkat kedua bahunya, "Justru aku yang panik, tiba-tiba ada orang yang mengintipku seperti itu. Selama hidupku tidak ada yang pernah, walau pernah pun, mereka tidak seperti dirimu." Gerutu Hiro.
“Iya... sekali lagi aku minta maaf,” Renge kembali menundukan kepalanya entah sudah berapa kali ia lakukan hari ini. Tetapi ia kembali tertuju pada perkataan Hiro yang selanjutnya, ia merasa bingung dengan perkataannya dan menatap kembali pada pria disampingnya.
“Tidak seperti diriku?” Tanya siswi berambut ikal panjang itu.
Hiro melirik kepada Renge, “Ya, tidak seperti dirimu. Apa yang baru saja kau bilang tadi,” ia mengernyitkan dahinya. “Tidak dikatakan oleh mereka.” Lalu ia menolehkan kepalanya pada wanita kecil disampingnya, “Orang macam apa yang mengintip orang lain lalu meminta maaf?” Hiro bertanya terus terang dan mengangkat sebelah alisnya.
Benar-benar orang ini. Baru kali ini ia bertemu dengan wanita yang sepolos dan setulus ini. Dan seaneh ini.
“Karena...” Renge tiba-tiba bimbang menjawab. “...mengintip itu bukanlah tindakan yang baik.” Wajah Renge memerah sedikit lagi karena ia terdengar seperti orang mesum. Kemarin Renge memang melihat Hiro setengah telanjang, walaupun konteksnya ia sedang menari. Renge pun kembali menutup wajahnya lagi mengingat kejadian kemarin.
“Oh. Ya, aku memang setuju dalam hal itu...” Hiro menghentikan kalimatnya ketika ia melihat reaksi Renge.
Ada apa dengan dia, sih? Semakin ia bertanya kepada wanita ini, reaksinya semakin menjadi-jadi. Awalnya dia hanya menunduk, sekarang ia menutupi wajahnya. Hiro mengernyitkan dahinya, menatap Renge dengan bingung.
Mungkin ia merasa sangat bersalah sehingga ia seperti ini? Hiro berpikir Renge memang seharusnya merasa seperti itu. Sudah tahu mengintip hal yang salah, namun ia tetap melakukannya. Dan sudah membuat Hiro merasa cemas dengan sia-sia. Memang seharusnya Yoshihiro Renge merasa bersalah atas kelakuannya yang telah dilakukannya kemarin.
Tapi, rasanya ada hal lain. Hiro berusaha mencari alasan dibalik mengapa wanita ini bertingkah seperti ini, lalu alasan tersebut tidak ditemukan olehnya di wajah Renge. Tentu saja, dia sedang menutupi wajahnya. Bagaimana Hiro bisa mengamati wajahnya ketika wajahnya sedang ia tutup? Hiro mengangkat sebelah alisnya.
Hiro ingin menanyakan hal itu, namun sepertinya sudah cukup. Renge sepertinya sudah merasa tak nyaman dengan serangan pertanyaannya. Walaupun Hiro merasa ia tidak menyerangnya sama sekali. Lagipula, Renge seorang wanita. Dan wanita setidaknya berhak diberi sedikit jarak.
Hironori mengangkat kedua bahunya dan menghela nafas. Saat ia melakukan itu, mereka berdua sudah berada di depan kantin. Dia menyeringai dan menaruh tangan kanannya di pinggulnya.
"Baiklah! Mungkin kita sebaiknya beli makan siang dulu. Apa aku beli roti saja ya?" Kata Hiro, dengan sengaja sekaligus memanggil siswi disampingnya (Yoshi). Masih ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan, namun itu bisa dilanjut ketika mereka makan siang.
"O-oh, tak terasa sudah di kantin saja!" Renge berceteluk agar tidak terlalu canggung. "Mungkin aku akan mencoba set harian hari ini... Pilih sesuatu saja, Isao-kun, traktiranku hari ini," ujar Renge sambil tersenyum.
"Eh?" Hiro terlepas dari pikirannya dan menengok ke arah Renge. Apa yang telah barusan ia katakan? Traktir?
Ah, mungkin salah satu bentuk permintaan maafnya juga. Dan Hiro dengan senang hati menerimanya, apapun bentuknya yang dapat menguntungkan dirinya. Sebuah balas budi memang harus dimanfaatkan dengan baik.
Dan ia juga sadar bahwa Renge menghiraukan plesetan yang telah ia buat padanya.
Hiro mendengus dan membalas dengan menyeringai lebar, "Kau yakin? Kalau begitu, samakan saja makananku dengan punyamu."
Hiro pun melihat suasana kantin yang cukup ramai. "Aku akan mencari tempat duduk dan kau beli makanannya. Aku akan menunggumu disana," Hiro menunjuk ke arah baris meja yang masih ada beberapa bangku kosong tersedia untuk mereka berdua.
"Baiklah," ujar Renge tersenyum, ia pun pergi ke kasir untuk memesan makanan mereka.
Jika Hiro ikut serta dengan Renge untuk membeli makan siangnya, bisa saja bangku yang kosong tersebut telah diambil. Hiro langsung menuju ke tempat meja kosong yang ia lihat barusan dan menunggu Renge memesan makanan mereka.
Menu harian hari ini terdiri dari nasi kari, salad dan kudapan kecil lainnya. Renge memesan dua set dan menunggu makanannya disajikan. Beberapa saat ketika makanannya siap, ia membawa makanan tersebut ke meja mereka dan menaruhnya di tempat masing-masing.
"Terimakasih," ucap Hiro, mengucapkan "selamat makan" dan mulai memakan nasi kari yang dibeli oleh siswi yang duduk di depannya.
Sembari menelan makanannya, Hiro mengulang percakapan mereka tadi. "Jadi," mulainya dengan mengambil potongan saladnya. "Kau bilang sekali dua kali kau pernah... 'mengintip' orang berdansa di studio." Hiro tidak masalah mengucapkan kata 'dansa' di kantin; suasananya cukup ramai, suaranya juga tidak terlalu kencang yang hanya bisa di dengar oleh Renge. "Kau punya ketertarikan terhadap orang berdansa?" Tanyanya dengan mengangkat sebelah alisnya, dan memakan salad yang telah diambilnya.
Renge menghentikan makannya sejenak untuk membalasnya, "Aku sendiri tidak bisa menari, tapi aku cukup senang melihat orang menari," katanya sambil tersenyum.
“Oh ya?” Balas Hiro dengan menyeringai. “Apakah itu alasannya mengapa kau tetap melihatku disana sampai kau ketahuan olehku?” Lanjutnya dengan sedikit nada canda, seringainya semakin lebar, sambil memakan sesuap nasi karinya.
“Umm, sulit untuk dijelaskan...” ucap Renge sambil berpikir. “Aku tidak terlalu tahu banyak tentang menari, tapi menurutku dansa Isao-kun sangat menarik perhatianku."
Hiro mendengus. “Menarik perhatianmu, ya. Apakah karena aku seorang pria yang menari dengan gerakan feminin?” Tanya Hiro lagi.
Sedangkan yang lain, para lelaki b-boy, melakukan breakdance dengan gerakan “maskulin”, Hiro melakukan pirouette, allegro, arabesque, ballon, dan teknik-teknik dansa balet lainnya, walaupun sebenarnya dansa yang Hiro lakukan kemarin merupakan dansa modern, namun memang terdapat teknik balet di dalamnya. Salah satu alasan mengapa Hiro juga mendalami balet klasik.
“Hal tersebut bahkan tidak terlintas di pikiranku,” balas Renge dengan spontan. "Gerakanmu sedikit lembut Isao-kun, tapi feminin bukanlah kata yang akan kugunakan untuk menjelaskannya."
"Hmm," dengung Hiro sambil menelan makanannya. Respon Renge lagi-lagi diluar dugaannya, membuatnya bingung. Lalu ia teringat apa yang dikatakannya pada saat mereka berjalan menuju ke sini.
"Orang lain..." Hiro tersendat, pandangannya ke bawah seolah ia teralihkan. "Orang lain tertawa. Ketika melihatku berdansa. Mereka bilang aku seperti perempuan." Genggamannya pada sendok makannya semakin erat. Masih ada beberapa hal lain, namun penjelasan itu sudah cukup sebagai alasan mengapa ia menyembunyikan hobinya itu.
Lalu ia menatap Renge lurus-lurus. "Tapi kau tidak. Mengapa?" Tanya Hiro terus terang dengan nada serius, menajamkan matanya. Bukan bermaksud untuk mengintimidasi, ia hanya sangat heran dengan wanita ini. Di dunia ini, hanya ada satu wanita yang menerimanya sepenuh hati siapa dirinya. Dan wanita itu sudah tiada. Dan Hiro juga tidak sepenuhnya berharap ada orang lain yang menerimanya seperti orang itu.
Pikirnya sih, begitu.
Mendengar pertanyaan Hiro, Renge pun kembali berpikir. Kali ini sedikit lebih lama. Ketika ia menemukan jawabannya, Renge pun berucap, "Hmm... ini mungkin karena ayahku sangat menggemari kabuki dan kerap sering mengajak satu keluarga untuk pergi menonton pentas, dan disana lelaki memainkan peran perempuan." Jelas Renge sambil meminum tehnya. Setelah beberapa teguk, ia melanjutkan balasannya, "Dan menurutku, dalam seni itu tidak ada kaitannya dengan gender."
Hiro tercengang mendengar jawaban Renge. Ia membelalak lebar, seakan tidak percaya apa yang telah didengarnya.
Tidak ada kaitannya dengan gender.
Hiro mendengus, lalu melepas tawa. Ah, mungkin karena kepala keluarga Renge mempunyai kegemaran dalam seni pertunjukan, dia bisa berpikir seperti itu. Sangat berbeda dengan Hiro. Ia adalah anak tunggal dengan hobi seni, sedangkan sebenarnya ia merupakan keturunan dari keluarga pebisnis sukses. Dan disinilah ia berada, Isao Hironori, melakukan dansa dengan teknik balet dimana orang-orang berpikir bahwa balet hanya untuk perempuan saja. Lalu ia bertemu dengan wanita ini.
Wanita yang aneh ini. Yang baru saja ia kenal dan sudah membuatnya bingung sampai membuat kepalanya pusing. Berawal dari mengintipnya berdansa, lalu diikuti dengan reaksi dan jawaban yang sangat tidak terduga oleh Hiro.
Tawa Hiro semakin kencang. Tidak pernah selama hidupnya bertemu dengan orang semacam ini.
Apa yang akan ia lakukan dengan wanita ini?
Renge kaget ketika Hiro tertawa dengan lepas. Apakah ia mengatakan sesuatu yang lucu baginya? Atau justru ia menyinggungnya dan saking konyolnya ia tertawa selepas ini? Segala hal terlintas di benak Renge sambil melihat pria di depannya tertawa terbahak-bahak.
"Yoshihiro," panggil Hiro setelah tawanya mereda. Lalu ia menggelengkan kepalanya, "Aku harap semua orang bisa berpikir demikian." Hiro menghela nafas, lalu menatap Renge dengan tersenyum kecil, namun senyumnya tidak simetris. "Senang bisa kenal denganmu." Ucap Hiro dengan jujur. Dengan santainya, ia melanjutkan makan siangnya.
Segala kekhawatiran Renge pun terkesampingkan dengan mudah setelah ia melihat Hiro tersenyum kecil.
"S-senang berkenalan denganmu juga, Isao-kun," Renge membalas perkataannya dengan senyuman juga, walau dia masih bingung kenapa Hiro bisa tertawa selepas itu.
Tapi ya, lebih baik melihat orang tersenyum daripada cemberut, bukan?
Hiro membalas Renge dengan senyum lebar sebelahnya dan mendengus. Benar-benar wanita yang aneh. Hiro menggelengkan kepalanya.
"Jadi," mulai Hiro lagi seiring memakan nasi karinya yang sudah hampir habis. "Ayahmu senang dengan kabuki ya. Bagaimana denganmu, senang dengan kabuki juga, kah?” Tanya Hiro.
"Aku sendiri cukup senang menontonnya," jawab Renge.
“Atau bahkan kau sendiri adalah pemain kabuki?" Lanjut Hiro dengan canda.
Mendengar perkataan Hiro, Renge tertawa kecil, "Kabuki hanya dapat diperankan oleh lelaki. Jika aku mau terjun ke dunia teater aku harus mencoba takarazuka, dimana semuanya diperankan oleh perempuan."
Hiro merasa jantungnya berhenti berdetak ketika mendengar Renge tertawa. Baru kali ini ia mendengar wanita ini tertawa. Dan ia merasa mendengar suaranya membuat suasana hatinya semakin membaik.
Hiro pun membalas serta dengan tawa. "Tentu saja," balas Hiro. "Dan, kau tertarik untuk terjun ke sana?" Lanjutnya, sambil meneguk minumannya.
"Aku sendiri tidak terlalu pandai berakting, mungkin aku akan jadi penonton saja.”
Hiro tertawa kecil. "Ya, tentu saja. Dilihat dari tampangmu juga, kau sepertinya... seseorang yang sangat jujur." Hiro menyeringai. "Seperti diriku." Tambahnya terus terang. “Lalu, kau sendiri melakukan apa? Maksudku, dalam seni. Atau kau hanya tertarik dalam seni saja?” Hiro melanjutkan pertanyaannya. Tidak biasanya dia banyak bicara dan banyak bertanya pada seseorang, namun jika ia ada rasa penasaran, Hiro ingin tahu sedikit lebih banyak.
“Aku cukup senang melukis,” balas Renge sambil tersenyum. “Seni melukis ada di keluargaku sejak turun temurun, jadi tanpa sadar aku pun ikut terlibat di dalamnya.”
"Keluargamu pelukis? Wow," Hiro membelalak seolah ia terkagum. Untuk sejujurnya, jika Hiro bisa memilih, ia merasa lebih baik untuk disuruh menjadi seorang pelukis dibanding seorang pebisnis. Pebisnis dengan aturan yang mengikat, kedisiplinan, belum lagi masalah yang datang dari segala arah.
Ya, menjadi pelukis memang lebih baik. Namun sekarang, ia hanya berdansa.
"Aku iri," balas Hiro terus terang. "Aku harap aku juga terlahir di keluarga seniman." Hiro terkekeh kecil.
Aku iri. Kalimat ini menusuk hati Renge, ia teringat kembali dengan orangtua dan adiknya. Renge segera menepis pikiran tersebut dan mengeluarkan senyum kecil. "Iya, aku cukup beruntung," ujarnya dengan sedikit kosong dan pandangannya seolah-olah teralihkan.
Kali ini, Hiro mengangkat kedua alisnya. Ia menyadari perubahan suara Renge ketika ia membalas mengenai keiriannya terhadap keluarganya. Mungkin, soal itu merupakan topik yang sensitif.
Apapun mengenai keluarga memang selalu sensitif. Terutama keluarganya sendiri. Bahkan Hiro pun tidak tahu apakah ia masih mempunyai keluarga. Jika ini tentang keluarga kandung, Hiro sudah tidak memiliki siapa-siapa.
Ya, keluarga Hironori memang yang sangat... rumit. Namun mendengar balasan Renge, Hiro tidak membuat komentar apapun.
Hiro pun melanjutkan pertanyaannya, "Jika keluargamu pelukis, apakah keluargamu mempunyai galeri seni sendiri?"
Renge pun menatap Hiro kembali, "Ya, keluargaku memiliki galeri seni, lokasinya cukup dekat dengan studio dansa yang biasa kamu kunjungi."
"Oh ya? Mungkin aku pernah melihatnya sekali-dua kali, tapi aku belum menyadari jika galeri tersebut punya keluargamu," jelas Hiro. "Mungkin aku harus ke sana lagi suatu hari." Lanjutnya dengan menyeringai lebar.
"Jika ingin mampir bilang saja, aku dengan senang hati akan membawamu kesana" kata Renge, wajahnya kembali tersenyum.
Hiro menyeringai lebar mendengar undangan dari Renge. "Tentu saja! Mungkin suatu saat akulah yang akan mengintipmu melukis," sahut Hiro dengan canda. Walaupun wanita ini sudah membuatnya merasa cemas karena Renge telah melihatnya berdansa, namun yah, setidaknya ia sudah meminta maaf. Buat apa memikirkan masalah yang sudah selesai? Dan setidaknya, mungkin wanita ini tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Namun Hiro masih sedikit skeptis.
Bel sekolah berbunyi, waktunya masuk sesi pelajaran. Tak terasa waktunya telah habis mengobrol dengan seorang wanita. Ini belum terjadi sebelumnya dalam hidupnya.
Mungkin jika ia bisa dekat dengan wanita ini, akan ada banyak hal baru yang akan ia alami. Namun ia menyingkirkan pikiran itu, karena ia kurang yakin ia bisa dekat dengan Renge.
Karena wanita ini aneh. Dalam beberapa hal.
Renge sudah lama tidak menghabiskan waktu makan siangnya dengan orang lain. Beberapa hari sebelumnya, ia sibuk mengerjakan tugas dari OSIS. Berawal dari permintaan maaf berubah menjadi obrolan yang cukup menyenangkan, Renge senang ia tidak membuat lelaki depannya kesal atas perbuatannya. Sepertinya.
Hironori berdiri dari bangkunya dan melihat Renge, "Sudah waktunya masuk kelas. Tak terasa, ya?" Ujarnya dengan tertawa kecil. "Kita harus lekas, karena aku tidak mau guru kita menceramahiku mengenai telat waktu masuk kelas."
Perempuan berambut ikal itu mengeluarkan tawa kecil mendengar perkataan Hiro, “Setelah ini kelas Ueda-sensei, bukan? Dia memang lumayan galak," katanya sambil membereskan meja dan mengikuti teman barunya berjalan menuju kelas.
Mendengar nama guru tersebut, muka Hiro berubah suram. "Oh, sial, kau benar, kita harus benar-benar lekas!" Balas Hiro dengan nada sedikit panik yang dipalsukan, lalu Hiro mempercepat langkahnya menuju kelas, meninggalkan Renge beberapa langkah di belakang.