Penulis: Masanda Hananisa & Miwaul
Editor: Masanda Hananisa
Daftar karakter: Inoshishi Chiura (Miwaul), Isao Hironori (Masanda Hananisa)
Jumlah kata: 4046 kata
Rangkuman: Chiura sedang melampiaskan rasa terpendamnya terhadap masa lalunya di atap sekolah, lalu Hiro melihat dan mencoba menghentikan Chiura, namun Chiura berakhir dibawakan ke UKS oleh seniornya tersebut.
Trigger warning: Depressing content and blood.
*Coupé: memiliki arti “potong” atau “memotong” dalam balet klasik, yaitu teknik langkah di mana satu kaki “memotong” kaki yang lain, mengambil posisinya
Editor: Masanda Hananisa
Daftar karakter: Inoshishi Chiura (Miwaul), Isao Hironori (Masanda Hananisa)
Jumlah kata: 4046 kata
Rangkuman: Chiura sedang melampiaskan rasa terpendamnya terhadap masa lalunya di atap sekolah, lalu Hiro melihat dan mencoba menghentikan Chiura, namun Chiura berakhir dibawakan ke UKS oleh seniornya tersebut.
Trigger warning: Depressing content and blood.
*Coupé: memiliki arti “potong” atau “memotong” dalam balet klasik, yaitu teknik langkah di mana satu kaki “memotong” kaki yang lain, mengambil posisinya
Kenapa Nii-san bisa tidak curiga sama sekali? Batin Chiura, sambil meninju dinding di atap sekolah Shizumida.
Di jam istirahat ini, Chiura sudah berniat untuk memakan bekal makan siangnya di atap ini, set maki sushi bento dengan variasi tuna dan salmon yang telah dibuatnya sendiri. Namun, tiba-tiba memori masa lalunya menjajah pikirannya, membuatnya kesal. Alih-alih memakan bekalnya tersebut, ia meninju dinding sekolah yang memiliki tekstur berbatu. Meninju tembok tersebut membuat tangannya sakit dan mulai berdarah, tetapi Chiu tidak peduli. Dia tetap meninju tembok tersebut dengan raut muka kesal.
Alisnya mengerut mengingat kejadian yang membuatnya kesal sebelum mereka berangkat sekolah.
“Relakan saja mengapa, sih, Chiu? Ayah dan Ibu udah tiada dan begitulah kenyataannya! Tidak perlu membuat asumsi-asumsi aneh!”
“Mereka pergi begitu saja Aru-nii! Memang Nii-san tidak merasa curiga sedikit pun?!”
“MEREKA SUDAH PERGI, CHIU! RELAKAN!”
Tinjunya yang terakhir ini membuat sebagian kulitnya sobek. Chiu berhenti meninju dinding dan mengambil sebuah cutter dari saku celananya.
Keinginannya untuk melukai dirinya sendiri yang telah lama tidak muncul akhirnya kembali naik.
Kenapa Nii-san tidak curiga sama sekali? Apa dia tidak mau mencari tahu sedikit tentang kepergian Ayah dan Ibu?
Chiu tidak kuat lagi. Ia pun mulai melukai lengannya dengan cutter miliknya. Dia hanya ingin tahu kebenarannya. Hanya itu yang Chiu butuh saat ini.
***
"Cuacanya terang, apa aku ke atap saja ya?" gumam Hiro dengan sepotong roti di mulutnya. Ia baru saja keluar dari ruang kelas, sudah waktunya jam istirahat.
Biasanya, Hiro pergi ke kantin untuk membeli makan siangnya. Namun terkadang, ia juga membawa roti yang ia stok di rumahnya. Ya, dia tahu diri bahwa keadaan ekonominya tidak selalu memungkinkannya untuk membeli makan di kantin. Sepotong roti tawar untuk makan siang sudah cukup bagi Hiro. Terkadang bibinya juga membawakannya bekal.
Namun, masakannya tidak seenak masakan ibunya.
Tapi, sudahlah. Yang penting, ia masih bisa makan dan terus hidup, masih bisa tinggal di rumahnya yang cukup mewah.
Mewah namun kosong.
Hironori menaiki tangga menuju atap. Ketika ia sampai di lantai teratas, sebelum membuka pintu, ia mendengar sesuatu. Terdengar seperti orang sedang meninju sesuatu yang keras.
"Oh, ada orang ya?" Gumam Hiro lagi. Namun, ia mengernyit, suara itu terdengar... ganjil. Dan aneh.
Orang ini meninju dinding?
Hiro berpikir apakah sebaiknya ia pergi saja dan memakan rotinya di tempat lain. Namun sebelum ia berubah pikiran, suara itupun terhenti.
Hiro mengangkat sebelah alisnya. Dia berhenti? Batinnya.
Sebenarnya Hiro tidak ingin terlibat dengan apapun yang sedang dilakukan atau dialami orang yang berada di atap ini. Ah, mungkin ia sedang latihan atau apa, pikirnya. Dan ia juga sedikit heran mengapa seseorang latihan dengan meninju dinding. Memang tak ada material yang lebih baik?
Semoga ketika ia masuk, ia tidak menjadi bahan gantinya.
Mungkin sebaiknya ia tetap membukakan pintu ketika ia masuk nanti. Untuk berjaga-jaga jika hal itu terjadi, ia bisa langsung melarikan diri.
Mengangkat bahunya, ia pun membuka pintu dan memasuki ruang atap.
Hal pertama yang ia lihat merupakan sesuatu yang sangat tidak ia duga.
Seseorang sedang melukai pergelangan tangannya menggunakan sebuah cutter.
Hiro tidak peduli apa yang sedang orang itu pikirkan. Yang Hiro pedulikan adalah orang itu melukai tangannya sendiri, kulit sendiri, yang merupakan bagian tubuh yang semestinya dirawat dengan baik. Karena tubuh merupakan salah satu bahan ekspresi yang paling penting dalam berdansa dan Hiro tidak akan membiarkan orang menghancurkan kulitnya sendiri di depan matanya!
Semua yang ia pikirkan selalu terkait dengan berdansa. Ketika sudah berkaitan dengan berdansa, ia mulai bertindak dan berpikir perfeksionis. Hiro menghela nafas dalam hati. Jika ada orang yang ingin mengakhiri hidupnya, batinnya. Mengapa tidak menggunakan cara yang lebih cepat saja?
Inoshishi Chiura terakhir melukai dirinya sendiri adalah ketika mereka dipindahkan ke rumah kerabat setelah kedua orangtuanya meninggal. Bermain game tidak cukup, perasaan bersalah atas kepergian orangtuanya tetap datang menghampiri.
Melukai tangannya sendiri merupakan salah satu jalan keluar yang Chiu ambil. Aru tidak mengetahui hal ini, dikarenakan Chiu sering memakai baju lengan panjang didepannya.
Aku masih nggak percaya Aru-Nii memutuskan untuk merelakan begitu saja. Mengapa? Pikir Chiu sambil menggores pergelangan tangannya dengan cutter.
Aku benci Aru-Nii, pikirnya lagi geram.
Tidak tahan melihatnya, sambil memutar matanya dalam hati (oh, mengapa kuharus peduli?), Hiro segera berlari kearah anak itu, "Oi, apa yang sedang kau lakukan!?" Teriak Hiro.
Chiu dapat mendengar seseorang berteriak kearahnya.
Namun ia tidak mendengar suara pintu dibuka.
Kaget, secara tidak sengaja Chiu menggores tangannya terlalu dalam hingga mengenai pembuluh nadinya. Darah yang semula hanya menetes, perlahan mengalir, pada akhirnya menyembur.
Chiu masih tidak sadar tanganya terluka cukup dalam. Namun dia masih sempat melihat kearah sumber suara.
Seorang siswa Shizumida sepertinya, namun dia tidak mengenalnya. Mungkin seorang senior…?
Sepertinya siswa tersebut meneriakkan sesuatu lagi terhadapnya, namun pandangan Chiu semakin buram, fokusnya perlahan berkurang.
Seketika, segalanya berubah menjadi gelap.
***
Anak ini pingsan.
Dan Hiro membeku.
Hiro tidak biasa dihadapi dengan situasi seperti ini, tetapi setidaknya Hiro tahu ini bukanlah pertanda baik. Tentu saja, lihatlah pergelangan tangan anak ini. Darahnya terus mengalir keluar.
Apa yang harus ia lakukan?
Tentunya, ia harus segera membawanya ke UKS.
Sebelum itu, dia berpikir. Anak ini pingsan dari kehilangan banyak darah. Ia memperhitungkan dua buah situasi. Jika ia meninggalkannya disini, kemungkinan anak ini akan meninggal karena kehabisan darah dan Hiro akan menjadi saksi dan dihukum dan belum lagi diteror oleh kedua orangtua anak ini. Jika ia segera membawanya ke UKS, ia segera dibanjiri oleh segala pertanyaan dari siapapun yang bersangkutan dengan anak ini; teman, keluarga, lebih parah lagi orangtua.
Dan ia akan menjadi seseorang yang akan dijatuhkan hukuman dan akan dikejar oleh dendam karena telah terlibat dengan masalah anak ini.
Hiro menggeram dalam hati. Inilah sebabnya ia tidak suka ikut campur ke dalam masalah orang lain. Ikut terlibat hanya menambah beban untuknya. Dan ia sudah cukup mengangkut beban dari masa lalunya, ia tidak perlu ditambahi oleh masalah-masalah orang lain.
Hiro melihat kembali anak yang pingsan ini dan badannya mulai pucat.
Sepertinya berpikir cepat sangat sulit bagi Hiro.
Hiro memutar bola matanya, lalu segera menyingkirkan pikiran-pikirannya dan melakukan apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia mengangkut anak itu ke punggungnya dan Hiro segera berlari ke arah ruangan UKS.
***
Ketika sampai ke ruangan UKS, ruangan tersebut tidak ada siapa-siapa. UKS macam apa yang ditinggal kosong? Mungkin karena sedang jam waktu istirahat. Tapi itu bukanlah suatu alasan untuk meninggalkan ruangan kesehatan kosong! Bagaimana jika ada orang yang jatuh sakit keracunan makanan dan segera membutuhkan ruangan UKS? Seperti situasi sekarang, walaupun bukan tentang keracunan makanan; ini situasi yang jauh lebih parah. Dan lebih konyol.
Hiro tidak bisa habis pikir.
Hironori pun segera meletakkan siswa yang dibawanya pada matras yang tersedia. Hiro tidak tahu apa yang semestinya dilakukan selanjutnya, namun setidaknya ia akan membuat usaha untuk memberhentikan pendarahan pada pergelangannya.
Hiro melihat kedua pergelangan tangan anak tersebut. Tangan kiri anak ini mengalami pendarahan yang cukup parah, namun yang kanan, walaupun terdapat luka beberapa robekan, bagian tersebut tidak mengalami pendarahan. Lain hal dengan bagian jari-jarinya; kulitnya merobek parah, terkelupas hingga ke daging. Akibat meninju dinding? Hiro berpikir.
“Merepotkan saja,” gerutu Hiro dengan mukanya mengerut.
Hiro pun segera mencari kotak P3K di ruangan. Ketika ia menemukannya, ia segera merawat kedua tangan anak itu sehingga pendarahannya berhenti dan luka jarinya tertutup.
Pada saat Hironori masih SD dan SMP, ia sangat aktif di berbagai kegiatan sekolah, termasuk kegiatan UKS. Karena itu, ia mempunyai pengetahuan bagaimana cara melakukan pertolongan pertama, termasuk seseorang yang terluka dan kehilangan banyak darah. Dan ia menggunakan pengetahuan itu untuk merawat anak ini yang sudah membuang waktu makan siangnya.
Ketika semua itu selesai, Hiro menghela nafas berat, menepuk kepalanya dan menggeleng. "Mengapa aku harus peduli, lagi?" Keluhnya. Hiro melihat jam dinding. Masih ada beberapa waktu lagi untuk sesi kelas selanjutnya.
Ia pun mengambil posisi bersandar pada dinding ruangan dan menunggu sampai anak itu sadar atau ada siswa anggota UKS datang.
Jika anak ini sadar sebelum orang UKS masuk, pikirnya geram. Aku bersumpah aku akan meneriakinya karena telah melibatkanku ke dalam masalahnya.
***
Chiu perlahan membuka matanya. Ia mulai dapat melihat sekelilingnya, namun masih terasa janggal.
Badannya kebas, dia tidak mendapat kendali penuh atas tubuhnya. Penglihatannya masih berputar-putar.
Dia tidak dapat mengingat apa yang terjadi sehingga dirinya merasa tidak sehat.
Perlahan, perasaan kebas yang dirasa Chiu mulai mereda dan kendali otak atas tubuhnya kembali. Chiu dapat merasakan kepalanya pusing hebat dan tangannya nyeri, terutama tangan kirinya.
Tanpa peringatan, seketika beragam memori memasuki kepalanya dengan cepat.
Mengunjungi perusahaan ayah, bertengkar dengan ibu karena tidak mau membereskan rumah, Aru-Nii membantu mengerjakan pekerjaan rumah, kerabat yang membawa kabar duka, Chiu yang memotong lengannya, pertengkarannya dengan Aru-Nii.
“Mereka sudah pergi, Chiu! Relakan!” Kata-kata Aru-Nii terngiang kembali di kepalanya, mengakhiri serbuan memori yang tiba-tiba menghampiri kepala Chiu.
Chiu pun terbangun dan langsung berteriak.
Tidak, Chiu sendiri tidak menyadari kalau dirinya mendadak terduduk di kasur dari posisinya yang semula tidur. Dia sendiri tidak menyadari kalau dirinya berteriak dengan kencang.
Terlebih lagi, dia tidak sadar ada orang lain yang bersamanya saat itu.
Butuh setengah menit untuk otak Chiu memproses sosok yang bersamanya saat itu. Orang tersebut tidak begitu asing, namun Chiu tidak mengenalnya.
Sosok tersebut memandangnya dengan menyebalkan. Chiu hanya dapat memandangnya bingung.
Hiro merasa amarahnya meningkat sekian ratus persen.
Tidak, mungkin hanya beberapa. Namun anak ini baru saja bangun dan tiba-tiba teriak dan itu membuat Hiro terkejut, bingung, pusing, dan marah sekaligus.
Apa-apaan anak ini? Geram Hiro dalam hati. Dia mencoba untuk menjadikanku seseorang pelaku yang telah melukainya, ya? Dia teriak untuk apa, meminta tolong? Dia tidak tahu rasa bersyukur, ya?
Hiro meruncingkan tatapannya pada anak yang baru saja bangkit dari tidurnya dan menggeram pelan ditengah tenggorokannya.
Ya, mungkin amarahnya telah naik menjadi sekian ratus persen.
Ia akan berteriak balik pada anak ini, yang sudah bangun berteriak, mencoba mengambil perhatian orang-orang sekitar dan akan bermain menjadi korban.
Tetapi ia menarik kembali niatan itu.
Itu akan memperburuk situasi. Tanpa mengubah ekspresinya, Hiro pun memutuskan untuk diam dan mengamati anak yang berada di hadapannya ini.
Ia tampak pucat. Tentu saja. Dan itu tentu bukan salah Hiro. Selain itu, anak ini terlihat linglung. Ekspresinya seperti, dimana aku? Siapa kau? Mengapa kita berada di situasi seperti ini?
Tipikal orang yang baru saja sadar dari pingsannya.
Dan Hiro menyadari bahwa jika ia akan melakukan hal yang baru saja yang ingin ia lakukan pada anak ini tidak akan membantunya keluar dari situasi dan masalah ini.
Mengapa ia harus peduli, lagi?
Masih menggunakan tatapan tajamnya (karena walaupun ia membatalkan niatan untuk memarahi anak ini karena berbagai alasan dan ia masih ada sedikit kesabaran yang tersisa, ia masih marah), Hiro bertanya pada anak itu dengan menggeram pelan dan memiringkan kepalanya, "Sudah, pingsannya?"
Kata-kata yang keluar dari orang di hadapannya terdengar tidak masuk akal bagi Chiu.
Aku pingsan? Pikirnya. Dia tidak merasa melakukan banyak kegiatan berat yang dapat membuatnya jatuh pingsan.
Chiu hendak mengangkat tangan kirinya untuk memegang kepalanya, namun hanya rasa sakit yang tajam yang dirasakan. Dia melihat tangannya dan ia baru menyadari bahwa tangannya telah diperban. Kedua tangannya, lebih tepatnya.
Seketika ia teringat, ia memotong tangannya terlalu dalam. Ia tidak berniat melakukannya. Dia hanya ingin membuat luka goresan. Untuk membantunya menghilangkan rasa sakit yang dirasakan batinnnya.
Sekilas, Chiu teringat suara yang meneriakinya ketika ia menggores lengannya tersebut.
Suara yang mengagetkannya sehingga Chiu memotong tangannya secara tidak sengaja.
Oh, kena arteri, pikir Chiu, baru memahami mengapa ia telah pingsan.
Chiu kembali melihat sekelilingnya. Tempat tidur, kotak P3K, tirai ruangan, akhirnya dia tersadar kalau dia di UKS, dan menyimpulkan bahwa orang yang berada disampingnya ini yang membawanya kemari.
Chiu membuka mulutnya, hendak berkata terima kasih telah diberikan pertolongan. Namun mulutnya tertutup kembali dan tersadar akan sesuatu. Kata-kata lain keluar dari mulutnya.
“…Kamu yang meneriakiku sewaktu di atap tadi ya?” Tanyanya tenang, berusaha terdengar sopan.
Hiro sangat berusaha untuk menahan dirinya untuk berpikir yang aneh-aneh.
Namun Isao Hironori tidak pernah untuk tidak berpikir yang aneh-aneh.
Ketika mendengar pertanyaan itu, Hironori mulai menduga-duga. Dia akan melemparkan kesalahannya padaku, pikirnya semakin geram. Pasti dia akan seperti, "aku pingsan gegara kau meneriakiku sewaktu di atap tadi!" atau, "berkat kau, aku menjadi kehilangan banyak darah dan pingsan, tahu!"
Hiro menggeleng dalam hati. Dia memejamkan matanya untuk menenangkan pikirannya dan menahan ekspresinya menjadi semakin gelap.
Mengapa pikirannya adalah sesuatu yang sepertinya susah untuk ia kendalikan?
Hiro menghela nafas panjang dan memijat pelipisnya dengan jari tangan kanannya. "Ya," jawabnya sederhana.
Dia tidak akan menjelaskannya dirinya sampai anak ini bertanya mengapa. Biarkan anak ini yang mengatur situasinya. Pikirannya sudah berantakan, emosinya sedang ia usahakan untuk ia kendalikan juga, ia tidak perlu membuatnya semakin susah. Dan ia tidak mau anak ini berasumsi yang aneh-aneh mengenai dirinya seperti dirinya berasumsi yang aneh-aneh mengenai anak ini.
Pantas saja sosoknya tidak asing, memang dia yang meneriakiku di atap. Dia yang menyadarkanku berpikir normal lagi untuk sesaat, batin Chiu.
Iya, sayangnya, reflek tubuh dan pikirannya tidak sinkron sehingga menyebabkan dirinya terkejut dan berakhir dengan melukai tangannya dengan parah.
Chiu kembali berpikir bahwa ia telah cukup merepotkan orang ini. Dia sangat tidak ingin merepotkan orang lain, apalagi orang asing ini telah melihatnya pada saat dirinya sedang berada di kondisi paling lemah.
Chiu harus mulai berbalas budi, menunjukkan rasa terima kasihnya. Tetapi dia tidak ingin sembarang membalas budi.
“Berarti kamu yang membawaku ke UKS…?” Tanya Chiu lagi, memastikan kembali. Mengabaikan kenyataan bahwa tubuhnya masih lemas dan belum memakan bekal makan siangnya.
Terlebih lagi tubuhnya baru saja kehilangan banyak darah.
Hiro menatap orang di depannya dan mengangkat sebelah alisnya. Mungkin anak ini benar-benar sudah mulai mendapatkan kesadarannya kembali.
Baguslah. Pikiran dan batin Hiro mulai sedikit tenang. Namun ia belum bisa lepas dari rasa amarahnya. Ia belum bisa memaafkan anak ini dari melibatkannya ke dalam situasi seperti ini.
Andai ia bisa menjadi seseorang yang ikhlas untuk membantu orang lain. Namun sayangnya, Hiro menyadari, ia tidak akan bisa menjadi orang yang seperti itu. Menurutnya, dunia tidak berjalan seperti itu.
Semuanya harus dibalas dengan balasan yang setimpal.
Namun itu tidak berlaku untuk Hiro. Hiro tidak mempunyai balasan untuk apa-apa. Tentu saja, ia sudah membayar semuanya di masa lalu.
Setidaknya, itulah yang ia rasakan.
Diam sejenak, Hiro pun membalas anak itu lagi. "Ya," jawabnya pelan sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya dan bertumpu pada kaki kanannya, masih bersandar pada dinding, mengambil postur santai. Ia akan melepas kewaspadaannya sedikit disini.
Chiu sudah mengerti situasinya. Kebodohannya di atap membuatnya kehilangan banyak darah, dan parahnya, merepotkan orang yang tak ia kenal.
Dirinya makin merasa bersalah.
Chiu mengamati sekelilingnya sekali lagi, berusaha mencari sesuatu.
Sesuatu yang harusnya dia makan semenjak awal ia berada di atap, dan dia tak dapat menemukan benda tersebut.
“Maaf, lihat kotak makananku, nggak? Um….” Chiu berusaha mencari sebutan yang tepat buat orang yang menyelamatkannya.
Hiro memiringkan kepalanya. Kotak makanan? Ia tidak mengingat ia melihat sebuah kotak ketika ia berada di atap tadi. Yang hanya ingat adalah sepotong roti tawarnya yang jatuh tertinggal ketika ia menghampiri anak ini.
Jadi, tidak ada makan siang untuknya hari ini. Ia juga tidak membawa uang untuk membeli makanan. Walaupun ada, jam istirahat akan selesai dalam waktu beberapa menit lagi.
Sial.
Hiro menghela nafas. "Isao," Hiro memperkenalkan diri. "Isao Hironori, kelas 3-B. Dan tidak, aku tidak melihat kotak makanan. Akupun juga tidak tahu kotak makananmu seperti apa." Hiro melihat anak di depannya dengan alis sebelahnya yang terangkat dan mengangkat bahunya.
…Oke, kotak makan dan sushiku sepertinya hilang. Nanti kucoba cari setelah badanku terasa lebih enak, pikiran tersebut muncul pertama kali di kepala Chiu setelah mengetahui kotak makannya entah berada dimana.
…Dan oke, ternyata dia senior. Berarti aku sudah berlaku tidak sopan lagi, pikirnya kemudian, kepalanya tertunduk sesaat.
"Dan kau?" Hiro bertanya. Ia telah menduga anak ini merupakan anak baru di sekolah; ia belum melihat anak ini sebelumnya. Mungkin ia anak tahun pertama atau kedua.
Chiu menatap seniornya dengan tegas. “Inoshishi Chiura dari kelas 1-C. Salam kenal, Isao-senpai. Terima kasih telah membantuku di atap tadi.” Chiu berkata sambil membungkuk, masih di posisi duduk.
Tunggu. Inoshishi? Hironori mengernyit dan menyentuh dagunya dengan tangan kanannya. Namanya tidak asing. Sepertinya ada salah satu siswa di kelasnya mempunyai nama yang serupa.
Apakah dia relatifnya?
Namun, Hiro tidak menghiraukan hal tersebut. Lagipula, itu bukan urusannya.
Tangan Chiu merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan dompet dan dua lembar uang dengan jumlah total dua ribu yen.
“Tadinya, aku ingin memberikan bekalku untuk Senpai. Namun karena bekalku tak ada, gunakan ini untuk membeli makan siang di kantin. Untuk jaga-jaga seandainya Senpai belum makan siang. Anggap saja karena Senpai sudah membantuku tadi.” Chiu mencoba menjelaskan dengan nada yang agak terbata-bata.
Dia masih merasa bersalah karena telah merepotkan orang lain atas masalahnya sendiri.
Chiura membungkuk kepadanya dan berterimakasih padanya. Ah, ia tahu sopan santun dan mempunyai rasa syukur sepertinya, Hiro menyeringai dalam hati. Tentu saja, anak ini merupakan juniornya dan sudah menjadi aturan seorang junior mesti sopan terhadap seniornya.
Lalu kemudian anak itu mengeluarkan uangnya. Untuk diberikan kepadanya. Dan jumlah uang itu cukup besar untuk Hiro.
Baiklah, apa yang harus ia lakukan disini?
Hiro masih merasa lapar. Namun jika ia menerima uang itupun, ia tidak akan keburu untuk membeli makan siang, belum lagi memakannya. Jika ditolak, rasanya sangat disayangkan. Hiro bukanlah orang yang serba material (lagipula rumahnya sudah cukup material baginya untuk ditinggalinya seorang diri), namun ia akan selalu memanfaatkan keuntungan yang akan ia dapatkan.
Sebuah ide muncul di kepalanya. Dan itu membuat Hiro menyeringai lebih lebar dalam hatinya.
Hiro mengangkat kedua bahunya dan tertawa kecil, "Tidak perlu. Kau tampak pucat, pakailah uang itu untuk membeli obat penambah darah atau apa. Lagipula," Hiro menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu yang sebentar lagi jam istirahat akan selesai. "Aku tidak akan sempat memakannya. Kelas akan masuk sebentar lagi."
Hiro menatap balik kepada Chiura. "Simpanlah hutangmu. Aku akan menagihnya jika aku akan butuh di lain waktu," lanjut Hiro dengan tersenyum kecil sambil memiringkan kepalanya sedikit.
Mendapatkan balas budi memang sangat bermanfaat. Dan ia akan memanfaatkan hal itu dengan sangat baik.
Kata-kata yang dikeluarkan Isao-senpai tidak terdengar enak bagi Chiu. Yang namanya hutang, harus segera dilunaskan saat itu juga, tidak dapat ditunda.
Persetan dengan obat, sepertinya dia tidak masalah kalau harus mati. Dia bisa bertemu orangtuanya kembali.
“Tidak apa, Senpai. Aku masih membawa lima ribu yen di dompetku, cukup untuk aku hidup sampai akhir bulan. Aku tidak ingin menyimpan hutang. Pakai saja untuk makan ramen di pusat kota, atau bermain di arcade. Senpai pasti butuh.” ujar Chiu tegas. Wajahnya tersenyum. Penekanan pada kata arcade dirasakan sangat perlu.
Siapa yang tidak suka bermain game?
Hiro mendengung pelan dan mengangkat sebelah alisnya.
Anak yang teladan, Hiro mengakui. Seharusnya dunia patut mempunyai rasa balas budi yang kuat seperti Chiura. Namun sangatlah disayangkan jika kemungkinan anak ini belum melihat dunia yang lebih luas lagi. Hiro akan sangat menantikan anak ini terjun ke dunia yang dipenuhi dengan hipokritisme.
Seperti dirinya sendiri.
Dan orangtua sialan itu.
Sadar akan pikirannya akan mengarah kemana, ia segera memfokuskan kembali perhatiannya kepada Chiura. Hiro menyeringai, "Sudah kubilang tidak perlu. Simpanlah. Aku masih mempunyai energi tersisa untuk sesi kelas selanjutnya sampai selesai, tenang saja." Ia balas dengan tawa.
Ya, walaupun ia lapar, tubuhnya sudah terlatih untuk bertahan tanpa makan siang. Yang paling penting baginya adalah sarapan. Ia tidak pernah dan tidak akan melewati sarapan. Sarapan merupakan sumber awal energinya untuk melakukan lari pagi, melakukan kelas sampai berdansa di sore hari. Ketika sampai di rumah, ia mengembalikan energinya dengan makan malam. Dan makan malamnya tidak sebanyak dengan porsi sarapannya.
Hiro menyeringai kembali, "Tenang, aku sudah mempunyai hal yang jauh lebih menyenangkan dibanding bermain di arcade. Ya, setidaknya untukku sendiri," ia mengangkat kedua bahunya dan menghela nafas panjang. Ya, lagipula, siapa yang tertarik berdansa klasik? Terlebih lagi seorang pria? Ia tertawa dalam hati.
Astaga, kenapa Senpai ini keras kepala sekali sih, pikir Chiu tanpa melihat cermin. Padahal dirinya sama keras kepalanya dengan Isao-senpai.
Kata-kata terakhir senpai menarik sedikit perhatiannya, namun Chiu masih bersikeras agar Isao-senpai menerima balas budinya saat itu juga.
“…Tolong diterima bentuk balas budiku sekarang ya, Senpai. Aku bisa memotong tangan kananku dan berkata ke semua orang kalau Senpai yang melakukannya. Lagipula, aku yakin sebagian darahku ada di baju Senpai sekarang”, Chiu membungkukkan badannya sambil menyodorkan uang tersebut kearah Senpai, memaksanya untuk mengambil uang tersebut.
Kata-katanya tegas dan mulai sedikit tajam. Harusnya Senpai mengerti kalau Chiura tidak suka memupuk hutang atau menimbulkan hutang ke orang lain.
Chiu tidak suka cara ini, namun dia tidak tahu cara yang lebih baik.
Mata sebelah Hiro berkedut.
Apa-apaan anak ini!? Ternyata dugaan awalnya memang benar! Anak ini akan membuatnya menjadi seorang pelaku kekerasan yang telah membuat anak ini pingsan. Hiro menggeram keras dalam hatinya.
Anak kurang ajar, pikirnya kesal. Kutarik pengakuanku tadi.
Namun, Hiro berpikir kembali, mungkin anak ini hanya ingin lepas dari rasa bersalahnya dan segera membalas kebaikan yang telah ia lakukan. Hiro mengerti.
Anak ini lebih keras kepala dibanding dirinya. Bahkan Hiro sendiripun tidak mengakui bahwa dirinya keras kepala. Ia hanya mencoba untuk murah hati! Bukankah itu sifat yang disukai oleh orang-orang?
Hiro mengerti, namun pada saat yang bersamaan, ia tidak bisa mengerti sama sekali.
Hiro pun melirik baju seragamnya. Sial, batinnya. Memang bajunya ternodai oleh darah Chiura. Apakah ini namanya keras kepala taktikal?
Mungkin Hiro bisa belajar darinya.
Hiro pun menghela nafas. Ya, walaupun dalam hati ia selalu menggeram dan menggerutu, Hiro selalu berusaha untuk sabar. Dan menurutnya, sabar merupakan salah satu keahliannya.
Ia mengambil langkah dari posisi bersandarnya, menghampiri Chiu dan menerima uang ditangannya. Lalu ia mengibaskan uang itu disela jari telunjuk dan tengahnya, "Hutang terbayarkan," ucapnya dengan nada malas.
Jikalau ada orang yang lebih keras kepala dibanding dirinya, Hiro lebih memilih untuk mengalah saja. Berusaha untuk menang hanya merepotkan dirinya dan bisa membuat suatu konflik yang tak berguna dan hanya menambah masalah untuknya.
Lagipula, ia bisa memanfaatkan uang ini. Seperti membeli makan atau bermain di game arcade. Tetapi Hironori tidak bermain game arcade. Ia hanya berdansa.
Duh, diambil juga akhirnya, batin Chiu. Perasaannya menjadi sedikit lega. Setidaknya dia sudah tidak memiliki hutang apapun pada Isao-senpai.
Sejak Chiu kecil, uang bukanlah masalah yang besar, karena memang Chiu terlahir dalam keluarga dengan kondisi keuangan menengah atas. Meskipun orangtuanya telah tiada, para kerabat dan Aru-Nii telah berusaha keras menjaga Inoshishi Co. berjalan seperti biasa.
Chiu sendiri telah mampu mencari uangnya sendiri dari kerja sampingan, memenangkan turnamen, serta menjual in-game item. Menyumbangkan dua ribu yen tidak begitu masalah baginya, meskipun jumlah tersebut Chiu akui terbilang cukup besar.
Dan bel sekolah berbunyi, menandakan sesi kelas akan dimulai.
Hiro mengangkat bahunya dan menatap pada Chiura, "Kusarankan kau tetap berada di kasur itu sampai sekolah selesai. Aku tidak mau ada hal yang terjadi padamu dan aku menjadi orang yang bertanggung jawab, mengerti?" Hiro meruncingkan tatapannya.
Chiu mengangguk, menanggapi saran Isao-senpai untuk beristirahat sampai jam pulang sekolah. Kepalanya masih sedikit pusing.
Hiro berbalik badan dan akan meninggalkan ruangan. Ia melambaikan tangannya yang sedang memegang lembaran uang yang ia terima. "Sampai nanti, mungkin. Dan terima kasih uangnya, Ino-kun." Hiro membuka pintu dan akan melangkah keluar.
“Terima kasih, Senpai!” Chiu menanggapi sambil tersenyum. Lalu ia teringat pada sesuatu.
“Omong-omong, Senpai. Tadi kau bilang ada yang lebih seru dari bermain game. Memangnya apa?” Tanya Chiu dengan nada penasaran. Alisnya berkerut, namun bagian wajahnya yang lain masih tetap datar.
Hiro menghentikan langkahnya dan ia menoleh ke belakang, melihat Chiura.
Ia tidak perlu berpikir untuk menyamarkan jawabannya. Lagipula, seorang Isao Hironori tidak pernah berbohong.
Namun, dalam hal ini, Hiro berusaha untuk tetap menyembunyikannya. Berdansa sudah menjadi hal sakral baginya. Hampir semua orang yang Hiro temui menganggapnya bercanda dan mengoloknya ketika ia menyebut bahwa ia suka berdansa.
Ya, menganggapnya bercanda. Mungkin ia bisa menjawabnya, dan anak ini akan menganggapnya bercanda. Siapa yang akan mengira ia serius, seorang lelaki berdansa?
Batinnya berkontemplasi antara harus tertawa terhadap fakta itu atau bersedih.
Hiro menyeringai lebar dan mengangkat bahu serta lengannya, "Berdansa."
Ia pun melanjutkan langkahnya keluar ruangan dan menuju kelasnya, meninggalkan Chiura. Ketika Hiro sudah melangkah jauh dari ruang UKS, mukanya berubah muram.
Jawaban Isao-Senpai sama sekali tidak diduga oleh Chiu.
Dan kukira berdansa hanya untuk wanita, pikir Chiu.
Saat itu Chiura tidak banyak berpikir soal jawaban dari Isao-senpai. Kalau memang berdansa lebih seru baginya, mungkin suatu hari dia akan mengetahui jawaban yang sebenarnya.
Jawaban apakah benar Isao-senpai memang lebih suka berdansa dibandingkan bermain game.
Berbicara soal dansa, Chiu teringat ketika diajari dansa oleh ayahnya. Katanya, dansa merupakan salah satu pendekatan yang diperlukan dalam dunia bisnis. Entah untuk apa, Chiu yang berumur sepuluh tahun saat itu belum mengerti maksud ayahnya.
Mengingat masa lalunya menimbulkan rasa sakit yang tajam pada hati Chiura.
Ia melemparkan tubuhnya kembali ke matras UKS, membiarkan kerasnya kasur menghempas tubuhnya. Ia melihat langit-langit dengan tatapan kosong.
Chiu tidak ingin memikirkan apapun saat ini.
Setelah dirinya pulih kembali, dirinya akan melanjutkan kembali temuannya kemarin malam.
Namun saat ini, Chiura memilih memejamkan mata dan memulihkan tenaganya kembali.
Di jam istirahat ini, Chiura sudah berniat untuk memakan bekal makan siangnya di atap ini, set maki sushi bento dengan variasi tuna dan salmon yang telah dibuatnya sendiri. Namun, tiba-tiba memori masa lalunya menjajah pikirannya, membuatnya kesal. Alih-alih memakan bekalnya tersebut, ia meninju dinding sekolah yang memiliki tekstur berbatu. Meninju tembok tersebut membuat tangannya sakit dan mulai berdarah, tetapi Chiu tidak peduli. Dia tetap meninju tembok tersebut dengan raut muka kesal.
Alisnya mengerut mengingat kejadian yang membuatnya kesal sebelum mereka berangkat sekolah.
“Relakan saja mengapa, sih, Chiu? Ayah dan Ibu udah tiada dan begitulah kenyataannya! Tidak perlu membuat asumsi-asumsi aneh!”
“Mereka pergi begitu saja Aru-nii! Memang Nii-san tidak merasa curiga sedikit pun?!”
“MEREKA SUDAH PERGI, CHIU! RELAKAN!”
Tinjunya yang terakhir ini membuat sebagian kulitnya sobek. Chiu berhenti meninju dinding dan mengambil sebuah cutter dari saku celananya.
Keinginannya untuk melukai dirinya sendiri yang telah lama tidak muncul akhirnya kembali naik.
Kenapa Nii-san tidak curiga sama sekali? Apa dia tidak mau mencari tahu sedikit tentang kepergian Ayah dan Ibu?
Chiu tidak kuat lagi. Ia pun mulai melukai lengannya dengan cutter miliknya. Dia hanya ingin tahu kebenarannya. Hanya itu yang Chiu butuh saat ini.
***
"Cuacanya terang, apa aku ke atap saja ya?" gumam Hiro dengan sepotong roti di mulutnya. Ia baru saja keluar dari ruang kelas, sudah waktunya jam istirahat.
Biasanya, Hiro pergi ke kantin untuk membeli makan siangnya. Namun terkadang, ia juga membawa roti yang ia stok di rumahnya. Ya, dia tahu diri bahwa keadaan ekonominya tidak selalu memungkinkannya untuk membeli makan di kantin. Sepotong roti tawar untuk makan siang sudah cukup bagi Hiro. Terkadang bibinya juga membawakannya bekal.
Namun, masakannya tidak seenak masakan ibunya.
Tapi, sudahlah. Yang penting, ia masih bisa makan dan terus hidup, masih bisa tinggal di rumahnya yang cukup mewah.
Mewah namun kosong.
Hironori menaiki tangga menuju atap. Ketika ia sampai di lantai teratas, sebelum membuka pintu, ia mendengar sesuatu. Terdengar seperti orang sedang meninju sesuatu yang keras.
"Oh, ada orang ya?" Gumam Hiro lagi. Namun, ia mengernyit, suara itu terdengar... ganjil. Dan aneh.
Orang ini meninju dinding?
Hiro berpikir apakah sebaiknya ia pergi saja dan memakan rotinya di tempat lain. Namun sebelum ia berubah pikiran, suara itupun terhenti.
Hiro mengangkat sebelah alisnya. Dia berhenti? Batinnya.
Sebenarnya Hiro tidak ingin terlibat dengan apapun yang sedang dilakukan atau dialami orang yang berada di atap ini. Ah, mungkin ia sedang latihan atau apa, pikirnya. Dan ia juga sedikit heran mengapa seseorang latihan dengan meninju dinding. Memang tak ada material yang lebih baik?
Semoga ketika ia masuk, ia tidak menjadi bahan gantinya.
Mungkin sebaiknya ia tetap membukakan pintu ketika ia masuk nanti. Untuk berjaga-jaga jika hal itu terjadi, ia bisa langsung melarikan diri.
Mengangkat bahunya, ia pun membuka pintu dan memasuki ruang atap.
Hal pertama yang ia lihat merupakan sesuatu yang sangat tidak ia duga.
Seseorang sedang melukai pergelangan tangannya menggunakan sebuah cutter.
Hiro tidak peduli apa yang sedang orang itu pikirkan. Yang Hiro pedulikan adalah orang itu melukai tangannya sendiri, kulit sendiri, yang merupakan bagian tubuh yang semestinya dirawat dengan baik. Karena tubuh merupakan salah satu bahan ekspresi yang paling penting dalam berdansa dan Hiro tidak akan membiarkan orang menghancurkan kulitnya sendiri di depan matanya!
Semua yang ia pikirkan selalu terkait dengan berdansa. Ketika sudah berkaitan dengan berdansa, ia mulai bertindak dan berpikir perfeksionis. Hiro menghela nafas dalam hati. Jika ada orang yang ingin mengakhiri hidupnya, batinnya. Mengapa tidak menggunakan cara yang lebih cepat saja?
Inoshishi Chiura terakhir melukai dirinya sendiri adalah ketika mereka dipindahkan ke rumah kerabat setelah kedua orangtuanya meninggal. Bermain game tidak cukup, perasaan bersalah atas kepergian orangtuanya tetap datang menghampiri.
Melukai tangannya sendiri merupakan salah satu jalan keluar yang Chiu ambil. Aru tidak mengetahui hal ini, dikarenakan Chiu sering memakai baju lengan panjang didepannya.
Aku masih nggak percaya Aru-Nii memutuskan untuk merelakan begitu saja. Mengapa? Pikir Chiu sambil menggores pergelangan tangannya dengan cutter.
Aku benci Aru-Nii, pikirnya lagi geram.
Tidak tahan melihatnya, sambil memutar matanya dalam hati (oh, mengapa kuharus peduli?), Hiro segera berlari kearah anak itu, "Oi, apa yang sedang kau lakukan!?" Teriak Hiro.
Chiu dapat mendengar seseorang berteriak kearahnya.
Namun ia tidak mendengar suara pintu dibuka.
Kaget, secara tidak sengaja Chiu menggores tangannya terlalu dalam hingga mengenai pembuluh nadinya. Darah yang semula hanya menetes, perlahan mengalir, pada akhirnya menyembur.
Chiu masih tidak sadar tanganya terluka cukup dalam. Namun dia masih sempat melihat kearah sumber suara.
Seorang siswa Shizumida sepertinya, namun dia tidak mengenalnya. Mungkin seorang senior…?
Sepertinya siswa tersebut meneriakkan sesuatu lagi terhadapnya, namun pandangan Chiu semakin buram, fokusnya perlahan berkurang.
Seketika, segalanya berubah menjadi gelap.
***
Anak ini pingsan.
Dan Hiro membeku.
Hiro tidak biasa dihadapi dengan situasi seperti ini, tetapi setidaknya Hiro tahu ini bukanlah pertanda baik. Tentu saja, lihatlah pergelangan tangan anak ini. Darahnya terus mengalir keluar.
Apa yang harus ia lakukan?
Tentunya, ia harus segera membawanya ke UKS.
Sebelum itu, dia berpikir. Anak ini pingsan dari kehilangan banyak darah. Ia memperhitungkan dua buah situasi. Jika ia meninggalkannya disini, kemungkinan anak ini akan meninggal karena kehabisan darah dan Hiro akan menjadi saksi dan dihukum dan belum lagi diteror oleh kedua orangtua anak ini. Jika ia segera membawanya ke UKS, ia segera dibanjiri oleh segala pertanyaan dari siapapun yang bersangkutan dengan anak ini; teman, keluarga, lebih parah lagi orangtua.
Dan ia akan menjadi seseorang yang akan dijatuhkan hukuman dan akan dikejar oleh dendam karena telah terlibat dengan masalah anak ini.
Hiro menggeram dalam hati. Inilah sebabnya ia tidak suka ikut campur ke dalam masalah orang lain. Ikut terlibat hanya menambah beban untuknya. Dan ia sudah cukup mengangkut beban dari masa lalunya, ia tidak perlu ditambahi oleh masalah-masalah orang lain.
Hiro melihat kembali anak yang pingsan ini dan badannya mulai pucat.
Sepertinya berpikir cepat sangat sulit bagi Hiro.
Hiro memutar bola matanya, lalu segera menyingkirkan pikiran-pikirannya dan melakukan apa yang harus ia lakukan sekarang. Ia mengangkut anak itu ke punggungnya dan Hiro segera berlari ke arah ruangan UKS.
***
Ketika sampai ke ruangan UKS, ruangan tersebut tidak ada siapa-siapa. UKS macam apa yang ditinggal kosong? Mungkin karena sedang jam waktu istirahat. Tapi itu bukanlah suatu alasan untuk meninggalkan ruangan kesehatan kosong! Bagaimana jika ada orang yang jatuh sakit keracunan makanan dan segera membutuhkan ruangan UKS? Seperti situasi sekarang, walaupun bukan tentang keracunan makanan; ini situasi yang jauh lebih parah. Dan lebih konyol.
Hiro tidak bisa habis pikir.
Hironori pun segera meletakkan siswa yang dibawanya pada matras yang tersedia. Hiro tidak tahu apa yang semestinya dilakukan selanjutnya, namun setidaknya ia akan membuat usaha untuk memberhentikan pendarahan pada pergelangannya.
Hiro melihat kedua pergelangan tangan anak tersebut. Tangan kiri anak ini mengalami pendarahan yang cukup parah, namun yang kanan, walaupun terdapat luka beberapa robekan, bagian tersebut tidak mengalami pendarahan. Lain hal dengan bagian jari-jarinya; kulitnya merobek parah, terkelupas hingga ke daging. Akibat meninju dinding? Hiro berpikir.
“Merepotkan saja,” gerutu Hiro dengan mukanya mengerut.
Hiro pun segera mencari kotak P3K di ruangan. Ketika ia menemukannya, ia segera merawat kedua tangan anak itu sehingga pendarahannya berhenti dan luka jarinya tertutup.
Pada saat Hironori masih SD dan SMP, ia sangat aktif di berbagai kegiatan sekolah, termasuk kegiatan UKS. Karena itu, ia mempunyai pengetahuan bagaimana cara melakukan pertolongan pertama, termasuk seseorang yang terluka dan kehilangan banyak darah. Dan ia menggunakan pengetahuan itu untuk merawat anak ini yang sudah membuang waktu makan siangnya.
Ketika semua itu selesai, Hiro menghela nafas berat, menepuk kepalanya dan menggeleng. "Mengapa aku harus peduli, lagi?" Keluhnya. Hiro melihat jam dinding. Masih ada beberapa waktu lagi untuk sesi kelas selanjutnya.
Ia pun mengambil posisi bersandar pada dinding ruangan dan menunggu sampai anak itu sadar atau ada siswa anggota UKS datang.
Jika anak ini sadar sebelum orang UKS masuk, pikirnya geram. Aku bersumpah aku akan meneriakinya karena telah melibatkanku ke dalam masalahnya.
***
Chiu perlahan membuka matanya. Ia mulai dapat melihat sekelilingnya, namun masih terasa janggal.
Badannya kebas, dia tidak mendapat kendali penuh atas tubuhnya. Penglihatannya masih berputar-putar.
Dia tidak dapat mengingat apa yang terjadi sehingga dirinya merasa tidak sehat.
Perlahan, perasaan kebas yang dirasa Chiu mulai mereda dan kendali otak atas tubuhnya kembali. Chiu dapat merasakan kepalanya pusing hebat dan tangannya nyeri, terutama tangan kirinya.
Tanpa peringatan, seketika beragam memori memasuki kepalanya dengan cepat.
Mengunjungi perusahaan ayah, bertengkar dengan ibu karena tidak mau membereskan rumah, Aru-Nii membantu mengerjakan pekerjaan rumah, kerabat yang membawa kabar duka, Chiu yang memotong lengannya, pertengkarannya dengan Aru-Nii.
“Mereka sudah pergi, Chiu! Relakan!” Kata-kata Aru-Nii terngiang kembali di kepalanya, mengakhiri serbuan memori yang tiba-tiba menghampiri kepala Chiu.
Chiu pun terbangun dan langsung berteriak.
Tidak, Chiu sendiri tidak menyadari kalau dirinya mendadak terduduk di kasur dari posisinya yang semula tidur. Dia sendiri tidak menyadari kalau dirinya berteriak dengan kencang.
Terlebih lagi, dia tidak sadar ada orang lain yang bersamanya saat itu.
Butuh setengah menit untuk otak Chiu memproses sosok yang bersamanya saat itu. Orang tersebut tidak begitu asing, namun Chiu tidak mengenalnya.
Sosok tersebut memandangnya dengan menyebalkan. Chiu hanya dapat memandangnya bingung.
Hiro merasa amarahnya meningkat sekian ratus persen.
Tidak, mungkin hanya beberapa. Namun anak ini baru saja bangun dan tiba-tiba teriak dan itu membuat Hiro terkejut, bingung, pusing, dan marah sekaligus.
Apa-apaan anak ini? Geram Hiro dalam hati. Dia mencoba untuk menjadikanku seseorang pelaku yang telah melukainya, ya? Dia teriak untuk apa, meminta tolong? Dia tidak tahu rasa bersyukur, ya?
Hiro meruncingkan tatapannya pada anak yang baru saja bangkit dari tidurnya dan menggeram pelan ditengah tenggorokannya.
Ya, mungkin amarahnya telah naik menjadi sekian ratus persen.
Ia akan berteriak balik pada anak ini, yang sudah bangun berteriak, mencoba mengambil perhatian orang-orang sekitar dan akan bermain menjadi korban.
Tetapi ia menarik kembali niatan itu.
Itu akan memperburuk situasi. Tanpa mengubah ekspresinya, Hiro pun memutuskan untuk diam dan mengamati anak yang berada di hadapannya ini.
Ia tampak pucat. Tentu saja. Dan itu tentu bukan salah Hiro. Selain itu, anak ini terlihat linglung. Ekspresinya seperti, dimana aku? Siapa kau? Mengapa kita berada di situasi seperti ini?
Tipikal orang yang baru saja sadar dari pingsannya.
Dan Hiro menyadari bahwa jika ia akan melakukan hal yang baru saja yang ingin ia lakukan pada anak ini tidak akan membantunya keluar dari situasi dan masalah ini.
Mengapa ia harus peduli, lagi?
Masih menggunakan tatapan tajamnya (karena walaupun ia membatalkan niatan untuk memarahi anak ini karena berbagai alasan dan ia masih ada sedikit kesabaran yang tersisa, ia masih marah), Hiro bertanya pada anak itu dengan menggeram pelan dan memiringkan kepalanya, "Sudah, pingsannya?"
Kata-kata yang keluar dari orang di hadapannya terdengar tidak masuk akal bagi Chiu.
Aku pingsan? Pikirnya. Dia tidak merasa melakukan banyak kegiatan berat yang dapat membuatnya jatuh pingsan.
Chiu hendak mengangkat tangan kirinya untuk memegang kepalanya, namun hanya rasa sakit yang tajam yang dirasakan. Dia melihat tangannya dan ia baru menyadari bahwa tangannya telah diperban. Kedua tangannya, lebih tepatnya.
Seketika ia teringat, ia memotong tangannya terlalu dalam. Ia tidak berniat melakukannya. Dia hanya ingin membuat luka goresan. Untuk membantunya menghilangkan rasa sakit yang dirasakan batinnnya.
Sekilas, Chiu teringat suara yang meneriakinya ketika ia menggores lengannya tersebut.
Suara yang mengagetkannya sehingga Chiu memotong tangannya secara tidak sengaja.
Oh, kena arteri, pikir Chiu, baru memahami mengapa ia telah pingsan.
Chiu kembali melihat sekelilingnya. Tempat tidur, kotak P3K, tirai ruangan, akhirnya dia tersadar kalau dia di UKS, dan menyimpulkan bahwa orang yang berada disampingnya ini yang membawanya kemari.
Chiu membuka mulutnya, hendak berkata terima kasih telah diberikan pertolongan. Namun mulutnya tertutup kembali dan tersadar akan sesuatu. Kata-kata lain keluar dari mulutnya.
“…Kamu yang meneriakiku sewaktu di atap tadi ya?” Tanyanya tenang, berusaha terdengar sopan.
Hiro sangat berusaha untuk menahan dirinya untuk berpikir yang aneh-aneh.
Namun Isao Hironori tidak pernah untuk tidak berpikir yang aneh-aneh.
Ketika mendengar pertanyaan itu, Hironori mulai menduga-duga. Dia akan melemparkan kesalahannya padaku, pikirnya semakin geram. Pasti dia akan seperti, "aku pingsan gegara kau meneriakiku sewaktu di atap tadi!" atau, "berkat kau, aku menjadi kehilangan banyak darah dan pingsan, tahu!"
Hiro menggeleng dalam hati. Dia memejamkan matanya untuk menenangkan pikirannya dan menahan ekspresinya menjadi semakin gelap.
Mengapa pikirannya adalah sesuatu yang sepertinya susah untuk ia kendalikan?
Hiro menghela nafas panjang dan memijat pelipisnya dengan jari tangan kanannya. "Ya," jawabnya sederhana.
Dia tidak akan menjelaskannya dirinya sampai anak ini bertanya mengapa. Biarkan anak ini yang mengatur situasinya. Pikirannya sudah berantakan, emosinya sedang ia usahakan untuk ia kendalikan juga, ia tidak perlu membuatnya semakin susah. Dan ia tidak mau anak ini berasumsi yang aneh-aneh mengenai dirinya seperti dirinya berasumsi yang aneh-aneh mengenai anak ini.
Pantas saja sosoknya tidak asing, memang dia yang meneriakiku di atap. Dia yang menyadarkanku berpikir normal lagi untuk sesaat, batin Chiu.
Iya, sayangnya, reflek tubuh dan pikirannya tidak sinkron sehingga menyebabkan dirinya terkejut dan berakhir dengan melukai tangannya dengan parah.
Chiu kembali berpikir bahwa ia telah cukup merepotkan orang ini. Dia sangat tidak ingin merepotkan orang lain, apalagi orang asing ini telah melihatnya pada saat dirinya sedang berada di kondisi paling lemah.
Chiu harus mulai berbalas budi, menunjukkan rasa terima kasihnya. Tetapi dia tidak ingin sembarang membalas budi.
“Berarti kamu yang membawaku ke UKS…?” Tanya Chiu lagi, memastikan kembali. Mengabaikan kenyataan bahwa tubuhnya masih lemas dan belum memakan bekal makan siangnya.
Terlebih lagi tubuhnya baru saja kehilangan banyak darah.
Hiro menatap orang di depannya dan mengangkat sebelah alisnya. Mungkin anak ini benar-benar sudah mulai mendapatkan kesadarannya kembali.
Baguslah. Pikiran dan batin Hiro mulai sedikit tenang. Namun ia belum bisa lepas dari rasa amarahnya. Ia belum bisa memaafkan anak ini dari melibatkannya ke dalam situasi seperti ini.
Andai ia bisa menjadi seseorang yang ikhlas untuk membantu orang lain. Namun sayangnya, Hiro menyadari, ia tidak akan bisa menjadi orang yang seperti itu. Menurutnya, dunia tidak berjalan seperti itu.
Semuanya harus dibalas dengan balasan yang setimpal.
Namun itu tidak berlaku untuk Hiro. Hiro tidak mempunyai balasan untuk apa-apa. Tentu saja, ia sudah membayar semuanya di masa lalu.
Setidaknya, itulah yang ia rasakan.
Diam sejenak, Hiro pun membalas anak itu lagi. "Ya," jawabnya pelan sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya dan bertumpu pada kaki kanannya, masih bersandar pada dinding, mengambil postur santai. Ia akan melepas kewaspadaannya sedikit disini.
Chiu sudah mengerti situasinya. Kebodohannya di atap membuatnya kehilangan banyak darah, dan parahnya, merepotkan orang yang tak ia kenal.
Dirinya makin merasa bersalah.
Chiu mengamati sekelilingnya sekali lagi, berusaha mencari sesuatu.
Sesuatu yang harusnya dia makan semenjak awal ia berada di atap, dan dia tak dapat menemukan benda tersebut.
“Maaf, lihat kotak makananku, nggak? Um….” Chiu berusaha mencari sebutan yang tepat buat orang yang menyelamatkannya.
Hiro memiringkan kepalanya. Kotak makanan? Ia tidak mengingat ia melihat sebuah kotak ketika ia berada di atap tadi. Yang hanya ingat adalah sepotong roti tawarnya yang jatuh tertinggal ketika ia menghampiri anak ini.
Jadi, tidak ada makan siang untuknya hari ini. Ia juga tidak membawa uang untuk membeli makanan. Walaupun ada, jam istirahat akan selesai dalam waktu beberapa menit lagi.
Sial.
Hiro menghela nafas. "Isao," Hiro memperkenalkan diri. "Isao Hironori, kelas 3-B. Dan tidak, aku tidak melihat kotak makanan. Akupun juga tidak tahu kotak makananmu seperti apa." Hiro melihat anak di depannya dengan alis sebelahnya yang terangkat dan mengangkat bahunya.
…Oke, kotak makan dan sushiku sepertinya hilang. Nanti kucoba cari setelah badanku terasa lebih enak, pikiran tersebut muncul pertama kali di kepala Chiu setelah mengetahui kotak makannya entah berada dimana.
…Dan oke, ternyata dia senior. Berarti aku sudah berlaku tidak sopan lagi, pikirnya kemudian, kepalanya tertunduk sesaat.
"Dan kau?" Hiro bertanya. Ia telah menduga anak ini merupakan anak baru di sekolah; ia belum melihat anak ini sebelumnya. Mungkin ia anak tahun pertama atau kedua.
Chiu menatap seniornya dengan tegas. “Inoshishi Chiura dari kelas 1-C. Salam kenal, Isao-senpai. Terima kasih telah membantuku di atap tadi.” Chiu berkata sambil membungkuk, masih di posisi duduk.
Tunggu. Inoshishi? Hironori mengernyit dan menyentuh dagunya dengan tangan kanannya. Namanya tidak asing. Sepertinya ada salah satu siswa di kelasnya mempunyai nama yang serupa.
Apakah dia relatifnya?
Namun, Hiro tidak menghiraukan hal tersebut. Lagipula, itu bukan urusannya.
Tangan Chiu merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan dompet dan dua lembar uang dengan jumlah total dua ribu yen.
“Tadinya, aku ingin memberikan bekalku untuk Senpai. Namun karena bekalku tak ada, gunakan ini untuk membeli makan siang di kantin. Untuk jaga-jaga seandainya Senpai belum makan siang. Anggap saja karena Senpai sudah membantuku tadi.” Chiu mencoba menjelaskan dengan nada yang agak terbata-bata.
Dia masih merasa bersalah karena telah merepotkan orang lain atas masalahnya sendiri.
Chiura membungkuk kepadanya dan berterimakasih padanya. Ah, ia tahu sopan santun dan mempunyai rasa syukur sepertinya, Hiro menyeringai dalam hati. Tentu saja, anak ini merupakan juniornya dan sudah menjadi aturan seorang junior mesti sopan terhadap seniornya.
Lalu kemudian anak itu mengeluarkan uangnya. Untuk diberikan kepadanya. Dan jumlah uang itu cukup besar untuk Hiro.
Baiklah, apa yang harus ia lakukan disini?
Hiro masih merasa lapar. Namun jika ia menerima uang itupun, ia tidak akan keburu untuk membeli makan siang, belum lagi memakannya. Jika ditolak, rasanya sangat disayangkan. Hiro bukanlah orang yang serba material (lagipula rumahnya sudah cukup material baginya untuk ditinggalinya seorang diri), namun ia akan selalu memanfaatkan keuntungan yang akan ia dapatkan.
Sebuah ide muncul di kepalanya. Dan itu membuat Hiro menyeringai lebih lebar dalam hatinya.
Hiro mengangkat kedua bahunya dan tertawa kecil, "Tidak perlu. Kau tampak pucat, pakailah uang itu untuk membeli obat penambah darah atau apa. Lagipula," Hiro menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu yang sebentar lagi jam istirahat akan selesai. "Aku tidak akan sempat memakannya. Kelas akan masuk sebentar lagi."
Hiro menatap balik kepada Chiura. "Simpanlah hutangmu. Aku akan menagihnya jika aku akan butuh di lain waktu," lanjut Hiro dengan tersenyum kecil sambil memiringkan kepalanya sedikit.
Mendapatkan balas budi memang sangat bermanfaat. Dan ia akan memanfaatkan hal itu dengan sangat baik.
Kata-kata yang dikeluarkan Isao-senpai tidak terdengar enak bagi Chiu. Yang namanya hutang, harus segera dilunaskan saat itu juga, tidak dapat ditunda.
Persetan dengan obat, sepertinya dia tidak masalah kalau harus mati. Dia bisa bertemu orangtuanya kembali.
“Tidak apa, Senpai. Aku masih membawa lima ribu yen di dompetku, cukup untuk aku hidup sampai akhir bulan. Aku tidak ingin menyimpan hutang. Pakai saja untuk makan ramen di pusat kota, atau bermain di arcade. Senpai pasti butuh.” ujar Chiu tegas. Wajahnya tersenyum. Penekanan pada kata arcade dirasakan sangat perlu.
Siapa yang tidak suka bermain game?
Hiro mendengung pelan dan mengangkat sebelah alisnya.
Anak yang teladan, Hiro mengakui. Seharusnya dunia patut mempunyai rasa balas budi yang kuat seperti Chiura. Namun sangatlah disayangkan jika kemungkinan anak ini belum melihat dunia yang lebih luas lagi. Hiro akan sangat menantikan anak ini terjun ke dunia yang dipenuhi dengan hipokritisme.
Seperti dirinya sendiri.
Dan orangtua sialan itu.
Sadar akan pikirannya akan mengarah kemana, ia segera memfokuskan kembali perhatiannya kepada Chiura. Hiro menyeringai, "Sudah kubilang tidak perlu. Simpanlah. Aku masih mempunyai energi tersisa untuk sesi kelas selanjutnya sampai selesai, tenang saja." Ia balas dengan tawa.
Ya, walaupun ia lapar, tubuhnya sudah terlatih untuk bertahan tanpa makan siang. Yang paling penting baginya adalah sarapan. Ia tidak pernah dan tidak akan melewati sarapan. Sarapan merupakan sumber awal energinya untuk melakukan lari pagi, melakukan kelas sampai berdansa di sore hari. Ketika sampai di rumah, ia mengembalikan energinya dengan makan malam. Dan makan malamnya tidak sebanyak dengan porsi sarapannya.
Hiro menyeringai kembali, "Tenang, aku sudah mempunyai hal yang jauh lebih menyenangkan dibanding bermain di arcade. Ya, setidaknya untukku sendiri," ia mengangkat kedua bahunya dan menghela nafas panjang. Ya, lagipula, siapa yang tertarik berdansa klasik? Terlebih lagi seorang pria? Ia tertawa dalam hati.
Astaga, kenapa Senpai ini keras kepala sekali sih, pikir Chiu tanpa melihat cermin. Padahal dirinya sama keras kepalanya dengan Isao-senpai.
Kata-kata terakhir senpai menarik sedikit perhatiannya, namun Chiu masih bersikeras agar Isao-senpai menerima balas budinya saat itu juga.
“…Tolong diterima bentuk balas budiku sekarang ya, Senpai. Aku bisa memotong tangan kananku dan berkata ke semua orang kalau Senpai yang melakukannya. Lagipula, aku yakin sebagian darahku ada di baju Senpai sekarang”, Chiu membungkukkan badannya sambil menyodorkan uang tersebut kearah Senpai, memaksanya untuk mengambil uang tersebut.
Kata-katanya tegas dan mulai sedikit tajam. Harusnya Senpai mengerti kalau Chiura tidak suka memupuk hutang atau menimbulkan hutang ke orang lain.
Chiu tidak suka cara ini, namun dia tidak tahu cara yang lebih baik.
Mata sebelah Hiro berkedut.
Apa-apaan anak ini!? Ternyata dugaan awalnya memang benar! Anak ini akan membuatnya menjadi seorang pelaku kekerasan yang telah membuat anak ini pingsan. Hiro menggeram keras dalam hatinya.
Anak kurang ajar, pikirnya kesal. Kutarik pengakuanku tadi.
Namun, Hiro berpikir kembali, mungkin anak ini hanya ingin lepas dari rasa bersalahnya dan segera membalas kebaikan yang telah ia lakukan. Hiro mengerti.
Anak ini lebih keras kepala dibanding dirinya. Bahkan Hiro sendiripun tidak mengakui bahwa dirinya keras kepala. Ia hanya mencoba untuk murah hati! Bukankah itu sifat yang disukai oleh orang-orang?
Hiro mengerti, namun pada saat yang bersamaan, ia tidak bisa mengerti sama sekali.
Hiro pun melirik baju seragamnya. Sial, batinnya. Memang bajunya ternodai oleh darah Chiura. Apakah ini namanya keras kepala taktikal?
Mungkin Hiro bisa belajar darinya.
Hiro pun menghela nafas. Ya, walaupun dalam hati ia selalu menggeram dan menggerutu, Hiro selalu berusaha untuk sabar. Dan menurutnya, sabar merupakan salah satu keahliannya.
Ia mengambil langkah dari posisi bersandarnya, menghampiri Chiu dan menerima uang ditangannya. Lalu ia mengibaskan uang itu disela jari telunjuk dan tengahnya, "Hutang terbayarkan," ucapnya dengan nada malas.
Jikalau ada orang yang lebih keras kepala dibanding dirinya, Hiro lebih memilih untuk mengalah saja. Berusaha untuk menang hanya merepotkan dirinya dan bisa membuat suatu konflik yang tak berguna dan hanya menambah masalah untuknya.
Lagipula, ia bisa memanfaatkan uang ini. Seperti membeli makan atau bermain di game arcade. Tetapi Hironori tidak bermain game arcade. Ia hanya berdansa.
Duh, diambil juga akhirnya, batin Chiu. Perasaannya menjadi sedikit lega. Setidaknya dia sudah tidak memiliki hutang apapun pada Isao-senpai.
Sejak Chiu kecil, uang bukanlah masalah yang besar, karena memang Chiu terlahir dalam keluarga dengan kondisi keuangan menengah atas. Meskipun orangtuanya telah tiada, para kerabat dan Aru-Nii telah berusaha keras menjaga Inoshishi Co. berjalan seperti biasa.
Chiu sendiri telah mampu mencari uangnya sendiri dari kerja sampingan, memenangkan turnamen, serta menjual in-game item. Menyumbangkan dua ribu yen tidak begitu masalah baginya, meskipun jumlah tersebut Chiu akui terbilang cukup besar.
Dan bel sekolah berbunyi, menandakan sesi kelas akan dimulai.
Hiro mengangkat bahunya dan menatap pada Chiura, "Kusarankan kau tetap berada di kasur itu sampai sekolah selesai. Aku tidak mau ada hal yang terjadi padamu dan aku menjadi orang yang bertanggung jawab, mengerti?" Hiro meruncingkan tatapannya.
Chiu mengangguk, menanggapi saran Isao-senpai untuk beristirahat sampai jam pulang sekolah. Kepalanya masih sedikit pusing.
Hiro berbalik badan dan akan meninggalkan ruangan. Ia melambaikan tangannya yang sedang memegang lembaran uang yang ia terima. "Sampai nanti, mungkin. Dan terima kasih uangnya, Ino-kun." Hiro membuka pintu dan akan melangkah keluar.
“Terima kasih, Senpai!” Chiu menanggapi sambil tersenyum. Lalu ia teringat pada sesuatu.
“Omong-omong, Senpai. Tadi kau bilang ada yang lebih seru dari bermain game. Memangnya apa?” Tanya Chiu dengan nada penasaran. Alisnya berkerut, namun bagian wajahnya yang lain masih tetap datar.
Hiro menghentikan langkahnya dan ia menoleh ke belakang, melihat Chiura.
Ia tidak perlu berpikir untuk menyamarkan jawabannya. Lagipula, seorang Isao Hironori tidak pernah berbohong.
Namun, dalam hal ini, Hiro berusaha untuk tetap menyembunyikannya. Berdansa sudah menjadi hal sakral baginya. Hampir semua orang yang Hiro temui menganggapnya bercanda dan mengoloknya ketika ia menyebut bahwa ia suka berdansa.
Ya, menganggapnya bercanda. Mungkin ia bisa menjawabnya, dan anak ini akan menganggapnya bercanda. Siapa yang akan mengira ia serius, seorang lelaki berdansa?
Batinnya berkontemplasi antara harus tertawa terhadap fakta itu atau bersedih.
Hiro menyeringai lebar dan mengangkat bahu serta lengannya, "Berdansa."
Ia pun melanjutkan langkahnya keluar ruangan dan menuju kelasnya, meninggalkan Chiura. Ketika Hiro sudah melangkah jauh dari ruang UKS, mukanya berubah muram.
Jawaban Isao-Senpai sama sekali tidak diduga oleh Chiu.
Dan kukira berdansa hanya untuk wanita, pikir Chiu.
Saat itu Chiura tidak banyak berpikir soal jawaban dari Isao-senpai. Kalau memang berdansa lebih seru baginya, mungkin suatu hari dia akan mengetahui jawaban yang sebenarnya.
Jawaban apakah benar Isao-senpai memang lebih suka berdansa dibandingkan bermain game.
Berbicara soal dansa, Chiu teringat ketika diajari dansa oleh ayahnya. Katanya, dansa merupakan salah satu pendekatan yang diperlukan dalam dunia bisnis. Entah untuk apa, Chiu yang berumur sepuluh tahun saat itu belum mengerti maksud ayahnya.
Mengingat masa lalunya menimbulkan rasa sakit yang tajam pada hati Chiura.
Ia melemparkan tubuhnya kembali ke matras UKS, membiarkan kerasnya kasur menghempas tubuhnya. Ia melihat langit-langit dengan tatapan kosong.
Chiu tidak ingin memikirkan apapun saat ini.
Setelah dirinya pulih kembali, dirinya akan melanjutkan kembali temuannya kemarin malam.
Namun saat ini, Chiura memilih memejamkan mata dan memulihkan tenaganya kembali.