Penulis: Masanda Hananisa & Mani Mani
Editor: Masanda Hananisa
Daftar karakter: Isao Hironori (Masanda Hananisa), Yoshihiro Renge (Mani Mani)
Jumlah kata: 3190 kata
Rangkuman: Hironori mendatangi galeri seni milik keluarga Yoshihiro, dan mereka saling berbicara mengenai ketertarikan mereka masing-masing terhadap seni.
Trigger warning: none
*Arabesque: In ballet, arabesque is a position where the body is supported on one leg, with the other leg extended directly behind the body with a straight knee.
Editor: Masanda Hananisa
Daftar karakter: Isao Hironori (Masanda Hananisa), Yoshihiro Renge (Mani Mani)
Jumlah kata: 3190 kata
Rangkuman: Hironori mendatangi galeri seni milik keluarga Yoshihiro, dan mereka saling berbicara mengenai ketertarikan mereka masing-masing terhadap seni.
Trigger warning: none
*Arabesque: In ballet, arabesque is a position where the body is supported on one leg, with the other leg extended directly behind the body with a straight knee.
"Hmm, inikah tempatnya?" tanya Hiro pada dirinya sendiri, berdiri di depan suatu gedung dengan ponsel di tangannya.
Di hari Minggu pagi yang cerah, setelah ia melakukan lari pagi rutinnya, kali ini ia tidak menuju ke studio untuk berdansa. Melainkan ia bergegas menuju rumah, menyiapkan diri dengan mengenakan baju kasualnya; baju panjang putih, rompi ungu, celana bahan berwarna hitam dengan tambahan mengenakan syal berwarna kuning. Kini, ia menuju ke suatu tempat beberapa jarak setelah studio dansa: galeri seni milik keluarga Yoshihiro.
Beberapa hari sebelumnya, Hiro ingin mengunjungi galeri milik Renge. Dan sekarang, di sinilah ia berada, dengan ponsel di tangannya yang menunjukkan lokasi galeri Yoshihiro.
"Aku harus segera memberitahunya," gumam Hiro pelan, mengetuk layar ponselnya dan membuka aplikasi chatting. Dan di hari ketika mereka membuat janji ini, mereka juga sudah saling bertukar nomor ponsel masing-masing.
"Hai.
Aku sudah di depan galerimu."
Usai mengetik, Hiro menekan tombol 'kirim', dan menunggu balasan dari Renge.
Renge sedang duduk di salah satu kursi yang ada di galeri keluarga Yoshihiro. Dia mengenakan sweater berwarna netral disandingkan dengan rok bermotif bunga.
Hari ini teman sekelasnya Hironori akan datang untuk mengunjunginya, sambil menunggu sang pemuda datang, Renge bermain dengan ponselnya; lebih tepatnya ia sedang bermain game bernama "Kitty Garden”, yaitu game ponsel dimana ia memiliki sebuah lahan dan para pemain dapat menaruh berbagai macam makanan maupun mainan untuk didatangi oleh kucing-kucing kecil yang lucu.
Sambil ia berinteraksi dengan kucing maya tersebut sebuah pesan dari Hiro masuk. Renge langsung sigap membalas pesan tersebut.
"Baiklah, aku akan segera kesana :)"
Usai mengirimkan pesan tersebut ia langsung berjalan keluar, dan di sana ia mendapati teman sekelasnya sedang menunggunya. Renge pun memanggilnya.
"Selamat pagi Isao-kun." Sapanya sambil tersenyum.
Hiro melihat pintu terbuka, dan Hiro membeku dalam beberapa saat. Kedua alisnya terangkat beberapa jarak.
Baru kali ini ia melihat Renge mengenakan baju sehari-hari. Wanita di depannya terlihat... cerah.
Hiro segera menepis pikiran tersebut dan mengantongi ponselnya ke dalam saku celananya. Ia pun membalas Renge dengan senyum kecil. "Selamat pagi," jawabnya.
"Yuk, mari kita masuk ke dalam." Renge mengarahkan agar mereka berdua masuk ke dalam galeri keluarganya.
Ruangan galeri Yoshihiro berukuran cukup besar, di dalamnya dapat dilihat berbagai macam lukisan, keramik dan kaligrafi yang dipajang dengan rapi di dinding. Speaker ruangan sedang menyetel lagu musik klasik Jepang.
"Selamat datang di galeri Yoshihiro! Saat ini yang dipajang merupakan karya-karya individu dari para anggota galeri." Renge memberikan sebuah pamflet yang berisi nama karya dan para penciptanya kepada Hiro. Di sampul pamflet tersebut bertuliskan kanji “Merah.”
"Luar biasa," komentar Hiro langsung ketika memasuki galeri Yoshihiro. Galeri tersebut sangat luas dan dinding terpajang dengan berbagai lukisan. Ia menerima lembaran pamflet yang diberikan oleh Renge dan membuka isinya.
"Seluruh keluargamu di sini adalah pelukis?" Tanya Hiro sambil melihat isi pamflet galeri tersebut.
Renge mengangguk mendengar pertanyaan Hiro. "Iya, kami satu keluarga merupakan pelukis, tapi karya yang dipamerkan juga merupakan karya murid yang belajar di sini juga."
Hiro langsung menatap Renge dengan mata lebar, "Kau menerima pelajar? Wow!" Lalu Hiro menatap sekelilingnya sekali lagi. "Apakah karyamu juga terpajang di sini?" Tanya Hiro lagi.
"Untuk kali ini aku tidak ikut pamerannya," balas perempuan itu dengan sedikit kecewa. "Aku tidak sempat menyelesaikan karyaku karena sibuk dengan kegiatan OSIS dan sekolah."
Hiro mengangkat sebelah alisnya. "Sangat disayangkan," ucap Hiro dengan nada kecewa juga. "Padahal aku sedikit berharap aku bisa melihat hasil karyamu di sini." Lagipula, Renge sudah melihatnya berdansa. Walaupun hanya beberapa lama saja.
"Mungkin lain waktu," jawab Renge sambil tersenyum kecil.
Hiro hanya mendengus. "Hebat ya, kita para seniman," ujar Hiro, memulai percakapan baru. Ia menatap lukisan yang terpasang di hadapannya. "Kita berekspresi dengan menghasilkan sebuah karya. Dan karya tersebut dilihat oleh orang lain. Layaknya berkomunikasi." Baru kali ini Hiro bisa membicarakan bebas mengenai seni pada orang lain, dan tentunya hal ini membuatnya senang. Walaupun berbeda jenis seni, namun Hiro menyukai seni dalam segala konteksnya.
Renge tertegun mendengar kata-kata Hiro. Ia merasakan sedikit tusukan di hatinya. Seniman? Kata tersebut terdengar sangat berat untuknya.
"Aku rasa aku tidak pantas untuk disebut seniman," ia membisik dengan pelan.
Lalu ia menoleh pada Renge dan menatap ke bawah. Sepertinya itu hal yang sensitif untuknya. Namun, ia sendiri pun juga tidak pantas disebut demikian. Ia berdansa, namun tak ada yang melihatnya.
Hiro pun kembali menatap lukisan di depannya. "Kau melukis. Kau telah menghasilkan karya. Mengapa tidak?" Jawab Hiro sambil tersenyum. "Siapapun yang bisa menghasilkan karya bisa disebut seniman." Tambahnya dengan sedikit girang, berharap ia bisa menaikkan situasinya menjadi lebih ringan.
Karena karyaku palsu, kata-kata tersebut hampir keluar dari mulutnya.
Renge segera menepis pikiran tersebut dan menggangguk pada perkataan Hiro. "B-betul katamu, Isao-kun. Maaf mendadak jadi negatif begini..."
Renge tersenyum kecil, ia senang sekaligus merasa bersalah membuat Hiro menghiburnya begini. Renge pun langsung mengganti topik pembicaraan. "Karyaku mungkin sedang tidak ada disini, tapi ada karya adikku. Apa kau mau melihatnya?"
Hiro kembali menatap Renge. Apakah dia memiliki rasa gelisah terhadap apa yang dihadapinya dalam seni? Jika benar, Hiro berempati. Lelaki itupun termenung sejenak ketika Renge meminta maaf.
Sangat ingin Hiro menanyakan hal tersebut pada perempuan di sampingnya, namun situasinya tidak tepat.
Hiro mengangguk, "Tentu," lalu ia memiringkan kepalanya, "aku tak tahu ternyata kau punya adik." Ya tentu saja, Hironori, karena Renge belum pernah mengatakan hal itu sebelumnya padamu, batinnya sambil menyeringai.
Renge langsung tersenyum, "Adikku namanya Tsubaki, ia lebih kecil 5 tahun dariku."
Renge kemudian menuntun Hiro ke depan sebuah lukisan besar yang dipampang di tengah galeri tersebut. Di dalam lukisan tersebut tergambarkan seorang wanita tersenyum yang sedang berdiri, bersantai di kebun bunganya. Wanita mengenakan kimono merah yang memiliki motif bunga sakura dan bangau.
"Ini karya adikku yang berjudul "Wanita Merah"," sebut Renge dengan rasa bangga.
"Wow," komentar Hiro ketika melihat lukisan adiknya Renge. "Adikmu sangat berbakat, ya." Tambahnya dengan sedikit senyum.
Renge terlihat sangat senang mendengar pujian dari Hiro. "Ia memiliki indera yang baik, ia juga bekerja sangat keras di lukisan ini. Jadi aku senang hasilnya jadi sangat memuaskan."
"Benarkah?" Hiro bertanya sambil tersenyum dan memerhatikan lukisan di depannya kembali.
"Memang, karya ini memiliki unsur kuat. Sudah semestinya karya ini mendapat pujian." Lanjutnya. "Kau bangga dengannya?" Tanya Hiro ketika ia menatap Renge.
Renge kembali tersenyum pada Hiro "Aku sangat bangga padanya."
Hiro menyeringai, "oh, ya? Baguslah jika begitu," ia memejamkan matanya sejenak, lalu ia membuka matanya, melirik Renge di sampingnya. "Bagaimana denganmu sendiri?" Hiro tidak menjabarkan pertanyaannya lebih lanjut, ia hanya menatap Renge dari sudut matanya.
"Aku... masih butuh banyak latihan," kata Renge sambil memainkan ujung roknya. Ia sendiri merasa bahwa gambarnya tidak cukup kompeten. Kata-kata dan kritikan ayahnya terus terbayang di benaknya. Betapa ia tidak memiliki identitas dan orisinalitas di lukisan-lukisannya. Hati Renge kembali menjadi kecut, namun ia tetap mempertahankan senyum di wajahnya.
"Apakah kau tertarik untuk melukis Isao-kun?" Tanya Renge, dengan harapan mengganti topik pembicaraan
"Tidak, bukan itu--" lalu Hiro menghentikan kalimatnya ketika ia melihat gestur tubuh Renge. Dan Hiro pun mulai sedikit mengerti mengenai siswi berambut panjang ikal ini.
Hiro pun menghela nafas. Jika dibandingkan, masalah mereka berdua dalam seni tidak jauh berbeda.
Lelaki tinggi itu mengeluarkan tawa kecil sambil mengembalikan pandangannya ke lukisan adik Renge yang terpajang di depannya. "Ya, aku tertarik dengan segala hal terkait dengan seni. Melukis, musik, puisi," lalu Hiro mengangkat kedua bahunya, "namun sejauh ini, aku hanya berdansa. Sesuatu... yang bisa kulontarkan semua ekspresiku."
Renge kembali teringat dengan dansa Hiro tempo hari (kali ini tidak terfokus pada badan setengah telanjang Hiro.) "Aku tidak terlalu tahu banyak tentang menari, tapi aku cukup terkagum melihatnya." Renge dapat merasakan semangat dan emosi yang dituangkan pemuda tersebut ke dalam tariannya. ia kagum pada Hiro yang dapat mengeluarkan segalanya pada tariannya.
Ia kagum sekaligus iri.
Hiro mendengus. "Seluruh karya seni mempunyai emosi masing-masing. Seperti lukisan ini, contohnya," ia menggerakkan tangannya ke arah lukisan di hadapannya, "aku bisa merasakan emosi di dalamnya. Juga, aku bisa saja menerjemahkannya ke dalam bentuk gerakan dansa, membuat suatu koreografi dan mengekspresikannya melalui dansa, menceritakan seorang wanita di suatu kebun bunga."
Lalu ia tertawa kecil dan mengangkat kedua bahunya, "namun sayangnya aku belum semahir itu. Yang selama ini aku lakukan hanyalah menyontoh dari video gerakan-gerakan dansa yang ada di internet."
Dan setelah kalimat itu, ia kembali menatap Renge, dengan muka sedikit muram namun juga dengan senyum lebar sebelahnya, "aku pun juga, tidak pantas untuk disebut seniman."
Renge kembali terbelalak dengan kata-kata Hiro. Segala kata yang ia sebutkan berdentum di hatinya. Namun kali ini ia merasa terhibur dengan perkataannya.
Aneh sekali, ia baru berkenalan dengan pemuda ini. Ucapannya blak-blakan, tapi entah mengapa ia merasa bahwa kegelisahannya berkurang setelah mendengarkan kata-kata tersebut. Apakah mungkin karena mereka sama-sama bergelut di dunia seni?
Renge pun mengeluarkan tawa kecil dan tersenyum, "Aku tetap merasa kau seniman yang lebih baik dariku, sih."
Senyum Hiro melebar dan tertawa dengan nafasnya. Seumur hidupnya, tidak pernah ada yang menyebutnya seorang seniman. Bahkan ibunya sekalipun, walaupun ia merupakan satu-satunya orang di dunia ini yang menerimanya bahwa ia berdansa.
Lelaki tinggi itu mengangkat kedua bahunya lagi. "Kau hanya baru mengintipku beberapa menit saja," lalu Hiro berbalik badan dari Renge, melihat lukisan yang lainnya yang terpajang di sekitar galeri, "dan aku pun belum pernah sekalipun melihat karyamu."
Ia kembali membalikkan badannya, menghadap Renge. Hiro tersenyum dan memiringkan kepalanya, "Jadi aku tidak tahu apakah aku bisa setuju dengan kalimat itu, Yoshi."
Renge mengeluarkan tawa kecil lagi. "Kuharap mungkin kapan-kapan kau dapat memperlihatkan tarianmu lagi."
Ia kemudian memainkan jarinya, "dan mungkin nanti ketika aku menyelesaikan lukisanku, aku bisa memperlihatkannya padamu."
Kedua alis Hiro sedikit terangkat mendengar Renge. Dan, sekali lagi, seumur hidupnya belum pernah ia tampil dihadapan siapapun selain ibunya. Dan penjaga studio. Hironori tidak tahu apakah ia bisa memperlihatkan dansanya di hadapan wanita ini.
Lagipula, perempuan ini sudah melihatnya berdansa. Terlebih lagi langsung di studio.
Hiro menghela nafas lembut dan kembali tersenyum, "baguslah. Aku akan menunggu." Lalu ia mendengus dan terkekeh, "dan pastikan kau tidak akan mengajak orang lain untuk melihat tarianku. Kau satu-satunya siswi di sekolah yang mengetahui jika aku berdansa." Namun Hiro sebenarnya tidak begitu yakin, karena bisa saja ada orang lain selain Renge dan penjaga studio yang mengetahui hal ini.
"Hal ini kau rahasiakan bukan? Aku tidak akan bilang pada siapapun kok," kata Renge sambil bergestur pura-pura mengunci mulutnya.
Hiro tertawa lebar, "benar juga, aku sudah pernah bilang sebelumnya, ya?" Lelaki berambut gelap itu memukul ringan kepalanya sendiri dengan kepalan tangannya, "tidak biasanya aku melupakan sesuatu."
Hiro menaruh tangan kanannya di pinggangnya, "kau bisa datang kapan saja. Hampir tiap hari ku berdansa, walau terkadang," Hiro menggeleng kepalanya pelan, "ada waktu ketika aku merasa tidak ingin berdansa. Dan hari Jumat. Di hari itu, studio terpakai latihan oleh para penari lainnya."
Renge mengatupkan kedua tangannya, "Aku sungguh menantinya!"
Beberapa saat kemudian, Hiro sedikit memalingkan wajahnya. "Aku... sudah lama tidak tampil di hadapan orang lain. Jadi bisa saja disaat nanti dansaku menjadi berantakan, dan jika itu terjadi, maafkan." Tambahnya dengan terkekeh.
Renge tertawa kecil melihat Hiro sedikit malu. Ternyata pemuda di depannya lebih lembut dibanding bayangannya. "Aku yakin Isao-kun akan tetap berdansa dengan baik."
Melihat reaksi Renge, Hiro membelalak dan merasa tengkuknya sedikit memanas. Secara reflek ia langsung mengusap leher belakangnya dan memalingkan tatapannya dari perempuan di hadapannya.
Belum pernah ia merasa seperti ini, dan juga ia belum pernah berinteraksi dengan seorang perempuan seperti... ini. Sebelum pikirannya mulai menguasai kepalanya dengan hal yang tidak-tidak, Hironori mencoba membalas Renge, namun tatapannya masih mengarah ke sampingnya dan dengan suara yang sedikit lebih berat, "aku harap demikian."
Renge sedikit tertegun melihat reaksi Hiro. Apakah ia tipe yang malu jika dipuji? Pertanyaan tersebut tersirat sekilas di pikiran Renge.
Hiro terdiam sejenak, lalu berdeham dan menegakkan tubuhnya (untuk menenangkan perasaan yang aneh tadi). Lelaki tinggi itu melihat lukisan di sampingnya, "jadi, adikmu ini... umur berapa?" Sebuah pertanyaan sederhana untuk mengembalikan mereka ke topik awal.
Mendengar pertanyaan Hiro, ia langsung menjawabnya dengan senyum, "Adikku berumur 12 tahun."
"Benarkah?" Balas Hiro dengan sebuah tanya lagi, lalu melihat kembali lukisan yang terpajang di hadapannya.
"Di umur yang masih muda sudah bisa melukis seperti ini? Aku terkesima." lanjutnya dengan senyum lebar sebelahnya.
"Memang! Dia memang hebat!" Sahut Renge kembali dengan penuh rasa bangga.
Lelaki tinggi itu termenung sesaat. Mengamati pembicaraan tadi, Renge yang tak punya kepercayaan diri atas kemampuan berkaryanya dan begitu bangganya memperlihatkan karya adiknya. Hiro tak ingin berspekulasi yang tidak-tidak, namun sepertinya, ia sudah bisa menduga apa masalah yang dialami Renge.
"Sudah berapa lama adikmu melukis?" Tanya Hiro lagi, kembali menatap Renge. "Dan juga dirimu, tentunya." Tambahnya, dengan sedikit memiringkan kepalanya.
"Kami sudah mulai menggambar dari kecil, hmm... sepertinya ketika umur 6 tahun." Jawab Renge sambil mengingat-ingat.
"Hmm. Sudah berlatih melukis dari kecil, ya? Pantas saja hasilnya sebagus ini."
"Dengan banyak latihan pasti bisa seperti ini, walau adikku lebih tanggap daripada murid murid lain."
Adiknya memang memiliki indera yang lebih baik darinya. Alhasil membuatnya mengerti bentuk dan warna dengan lebih cepat. Renge kembali melihat lukisan adiknya. Memang ia sungguh hebat, tak lama lagi pasti adiknya bisa mengejarnya dengan mudah. Hatinya sedikit berawan mengingatnya, tapi ia kembali meyakinkan diri agar tidak sedih. Baru saja Hiro menghiburnya, jadi ia tidak ingin bermuka masam di depan pemuda tersebut.
Dalam alih ingin menjauhkan pikiran tersebut Renge bertanya kembali pada Hiro, "Isao-kun sendiri sudah menari dari umur berapa?"
Pemuda bermata coklat cerah berdengung ketika Renge bertanya padanya, berpikir. "Sejujurnya, aku tidak tahu jawaban yang tepat untuk itu." Hironori menyentuh dagunya dengan jarinya. "Jika dalam konteks berapa lama aku sudah menari, aku sudah melakukannya selama hampir tiga tahun. Namun aku sendiri sudah tertarik berdansa pada saat ku berumur tujuh tahun."
Lalu Hiro melirik Renge dan mendengus. "Menurutmu, jawaban mana yang tepat?"
"Mungkin dulu hanya peminat, tapi sekarang pelaku?" Balas Renge sambil tertawa kecil.
Hiro terkekeh lebar mendengar respon Renge. "Mungkin kau benar."
Renge kembali bertanya, "Apakah Isao-kun pernah mengikuti lomba menari atau sejenisnya?" Seusai bertanya, Renge langsung menepuk jidatnya di dalam batinnya dan dengan cepat berkata, "A-ah, aku lupa kalau soal menari itu rahasia, maafkan."
Lalu Hiro sedikit kaget atas pertanyaan Renge dan matanya sedikit membelalak. Seketika ia langsung teringat akan masa kecilnya, yang sudah menunjukan ketertarikan dalam berdansa, lalu ditentang mentah-mentah oleh... orang itu. Hiro mengumpat dalam hati dan mukanya sedikit menggelap.
Mendengar Renge meminta maaf, Hiro menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil, walaupun sedikit kecut. "Tidak apa. Lagipula, kau sudah melihatku berdansa." Ia hening beberapa saat, lalu menghela nafas, untuk mengesampingkan pikiran masa lalunya itu. "Dan tidak. Selama ini, aku hanya berdansa di dalam studio Meiseki saja. Sendiri." Jawabnya dengan menyeringai. Hiro sedikit berharap Renge tidak melihat ekspresi suramnya sesaat.
Renge terdiam sesaat ketika mendengar jawaban hiro, apa yang menghentikannya untuk memperlihatkan tariannya keluar sana? Mungkin seperti layaknya Renge, Hiro pun punya masalahnya sendiri terhadap mengapa ia harus menari diam-diam begini.
"T-tapi sungguh sayang... Tarianmu harus disembunyikan seperti ini. Tarian itu seni performa bukan? Sepertinya sedikit... Sepi jika tidak ada yang melihat." Ucapnya sambil memainkan jarinya. "Apalagi tarian Isao-kun bagus menurutku," lanjutnya lagi.
Mendengar perkataan Renge, Hiro merasa terenyuh, sedih namun juga membuatnya... marah. Bukan terhadap perempuan di hadapannya, bukan. Terhadap orang-orang yang merupakan salah satu alasan terbesar mengapa ia tak bisa menunjukkan dansanya secara bebas. Terhadap orang-orang yang sudah mengurungnya di dalam suatu penjara yang membuatnya tidak percaya diri atas siapa dirinya yang sebenarnya.
Hironori seketika memejamkan matanya untuk menyembunyikan ekspresi amarahnya. Amarahnya terhadap para orang hipokrit, dendamnya terhadap orang yang melemparinya dengan komentar diskriminatif. Rasa keinginan yang beringas untuk menghabisi mereka yang pantas menerimanya di tangannya sendiri.
Rasanya di dalamnya mulai terbangkit seekor naga yang begitu liar yang berusaha keluar dari kandangnya.
Pemuda tinggi itu menghela nafas dengan pelan untuk menenangkan kebenciannya yang mulai menguasai dirinya. Lalu ia mencoba menatap Renge lurus pada matanya.
Dan seketika, naga yang liar itupun kembali terkurung dan terjinakkan.
Melihat wanita di hadapannya, Hiro tersenyum sedih. Kali ini, ia tidak menyembunyikan kesedihannya, karena apa yang dikatakan Renge begitu nyata sampai membuatnya sakit.
"Yoshihiro," mulainya dengan suara yang sedikit serak. "Aku tersentuh. Sungguh." Lalu ia terdiam sejenak, memberi jeda.
"Namun, sepertinya tidak semua orang berpikir demikian." Hiro menggelengkan kepalanya. "Bagi beberapa orang, dansaku hanyalah sampah tak berguna." Hiro mengepalkan kedua tangannya. "Dan dengan aku berdansa di studio seorang diri, aku tidak membuang sampah sembarangan, bukankah begitu?" Lanjutnya, dengan senyum muramnya.
Renge merasa hatinya ikut terkecut melihat wajah sedih Hiro, juga sedikit panik. Apakah ia sudah melampaui batas? Ini pasti topik yang sangat sensitif untuk Hiro.
"Tentu saja tidak begitu!" Sahutnya dengan agak kencang, ia tidak bisa tinggal diam ketika Hiro menganggap tariannya sampah.
"Aku bisa melihat bahwa Isao-kun sangat suka menari, walaupun ada yang tidak setuju pun kau tetap melakukannya bukan?" Renge kembali teringat dengan tarian Hiro yang ia intip, dan ia makin tersedih dengan kata-kata Hiro.
Renge melanjutkan kata-katanya, "Aku bisa melihat kau mengeluarkan emosimu di setiap gerakan tangan bahkan langkah kakimu... dari situ aku bisa melihat bahwa menari sangat penting untukmu Isao-kun... dan terlalu kejam jika hal sepenting itu disebut sampah..."
Renge pun sadar ia cukup terbawa emosi dan ia sudah berbicara seenaknya. Ia tidak mengetahui masalah Hiro dan topik ini dibawakan olehnya duluan, seketika ia langsung merasa segan dengan lelaki dihadapannya.
"M-maaf sudah menaikkan nadaku, aku jadi bicara seenaknya juga..." Renge melihat ke bawah dan memainkan ujung roknya lagi, ia tampak merasa bersalah.
Hiro membelalak lebar, sangat tidak menduga balasan Renge.
Hening sejenak.
Sudah berapa kali wanita ini membuatnya terkejut dengan reaksinya yang tidak ia duga? Hiro membatin. Dan, Renge berkomentar atas dansanya. Ia bisa melihat emosi yang ia keluarkan melalui dansa itu. Dan, Hiro berpikir, emosi apa yang dia lihat pada saat itu? Ia penasaran bahwa apakah dansanya memang seemosional itu.
Mungkin memang suatu saat nanti, ia ingin menunjukkan dansanya pada perempuan ini. Hanya ingin mendengar komentarnya saja.
Hiro mendengus, lalu tertawa dengan lembut. Perempuan satu ini memang sesuatu.
"Tidak apa, Yoshi. Aku... tersanjung. Terimakasih." Senyum Hiro lembut pada Renge. Tidak pernah sebelumnya ia mendapatkan pujian atas dansanya. Dan Hiro tidak tahu persis apa yang seharusnya ia rasakan. Memang dia merasa senang, namun sepertinya terasa sedikit asing baginya. Mungkin ini baru pertama kalinya ia dikomentari demikian.
Melihat Hiro tersenyum dengan lembut, Renge merasa lega. Ia bersyukur kalau ternyata ia tidak membuat pemuda di depannya tidak nyaman.
Pertama kali Renge melihat pemuda tersebut tersenyum seperti itu. Biasanya senyumannya lebih menyeringai, maka ia tak bisa menahan dari memandangi lelaki tinggi di hadapannya. "A-aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan kok...," katanya dilanjutkan dengan tawa kecil.
Hiro mendengus lembut, "Aku tahu." Hanya saja semua orang bisa seperti Yoshihiro Renge, mungkin ia tidak akan mempunyai rasa amarah yang selalu membuat dirinya mendidih. Namun kenyataan berkata tidak.
Ia terdiam sejenak, memerhatikan Renge beberapa saat.
Lalu tersadarkan diri, Hiro berdeham dan mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang. Mungkin sudah waktunya ia menuju ke tempat lain. Atau kembali ke rumah.
"Sekali lagi," mulainya sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam sakunya. "Terimakasih telah mengajakku ke sini. Tapi mungkin sekarang sudah waktunya aku untuk pergi." Hiro memiringkan kepalanya dan tersenyum kecil. "Mungkin kapan-kapan aku akan kembali. Dan, aku menanti hasil lukisanmu, Yoshi."
"Oh, sayang sekali... padahal aku baru mau mengajakmu minum teh." Ucap Renge sedikit muram.
Namun mendengar Hiro ingin melihat lukisannya menbuatnya sedikit senang, "Aku akan bekerja keras agar aku bisa mencapai ekspektasimu!"
Hiro tersenyum dengan sedikit ekspresi muram. "Maafkan aku. Mungkin di lain waktu. Ada hal yang harus ku... bereskan." Dan hal itu merupakan pikirannya sendiri. Mengenai... banyak hal.
Hiro mengenakan syalnya, bersiap untuk pergi. Lalu ia menyeringai lebar ketika Renge membalasnya. "Senang mendengarnya. Ku akan menunggu."
"Sampai nanti, Yoshi."
Di hari Minggu pagi yang cerah, setelah ia melakukan lari pagi rutinnya, kali ini ia tidak menuju ke studio untuk berdansa. Melainkan ia bergegas menuju rumah, menyiapkan diri dengan mengenakan baju kasualnya; baju panjang putih, rompi ungu, celana bahan berwarna hitam dengan tambahan mengenakan syal berwarna kuning. Kini, ia menuju ke suatu tempat beberapa jarak setelah studio dansa: galeri seni milik keluarga Yoshihiro.
Beberapa hari sebelumnya, Hiro ingin mengunjungi galeri milik Renge. Dan sekarang, di sinilah ia berada, dengan ponsel di tangannya yang menunjukkan lokasi galeri Yoshihiro.
"Aku harus segera memberitahunya," gumam Hiro pelan, mengetuk layar ponselnya dan membuka aplikasi chatting. Dan di hari ketika mereka membuat janji ini, mereka juga sudah saling bertukar nomor ponsel masing-masing.
"Hai.
Aku sudah di depan galerimu."
Usai mengetik, Hiro menekan tombol 'kirim', dan menunggu balasan dari Renge.
Renge sedang duduk di salah satu kursi yang ada di galeri keluarga Yoshihiro. Dia mengenakan sweater berwarna netral disandingkan dengan rok bermotif bunga.
Hari ini teman sekelasnya Hironori akan datang untuk mengunjunginya, sambil menunggu sang pemuda datang, Renge bermain dengan ponselnya; lebih tepatnya ia sedang bermain game bernama "Kitty Garden”, yaitu game ponsel dimana ia memiliki sebuah lahan dan para pemain dapat menaruh berbagai macam makanan maupun mainan untuk didatangi oleh kucing-kucing kecil yang lucu.
Sambil ia berinteraksi dengan kucing maya tersebut sebuah pesan dari Hiro masuk. Renge langsung sigap membalas pesan tersebut.
"Baiklah, aku akan segera kesana :)"
Usai mengirimkan pesan tersebut ia langsung berjalan keluar, dan di sana ia mendapati teman sekelasnya sedang menunggunya. Renge pun memanggilnya.
"Selamat pagi Isao-kun." Sapanya sambil tersenyum.
Hiro melihat pintu terbuka, dan Hiro membeku dalam beberapa saat. Kedua alisnya terangkat beberapa jarak.
Baru kali ini ia melihat Renge mengenakan baju sehari-hari. Wanita di depannya terlihat... cerah.
Hiro segera menepis pikiran tersebut dan mengantongi ponselnya ke dalam saku celananya. Ia pun membalas Renge dengan senyum kecil. "Selamat pagi," jawabnya.
"Yuk, mari kita masuk ke dalam." Renge mengarahkan agar mereka berdua masuk ke dalam galeri keluarganya.
Ruangan galeri Yoshihiro berukuran cukup besar, di dalamnya dapat dilihat berbagai macam lukisan, keramik dan kaligrafi yang dipajang dengan rapi di dinding. Speaker ruangan sedang menyetel lagu musik klasik Jepang.
"Selamat datang di galeri Yoshihiro! Saat ini yang dipajang merupakan karya-karya individu dari para anggota galeri." Renge memberikan sebuah pamflet yang berisi nama karya dan para penciptanya kepada Hiro. Di sampul pamflet tersebut bertuliskan kanji “Merah.”
"Luar biasa," komentar Hiro langsung ketika memasuki galeri Yoshihiro. Galeri tersebut sangat luas dan dinding terpajang dengan berbagai lukisan. Ia menerima lembaran pamflet yang diberikan oleh Renge dan membuka isinya.
"Seluruh keluargamu di sini adalah pelukis?" Tanya Hiro sambil melihat isi pamflet galeri tersebut.
Renge mengangguk mendengar pertanyaan Hiro. "Iya, kami satu keluarga merupakan pelukis, tapi karya yang dipamerkan juga merupakan karya murid yang belajar di sini juga."
Hiro langsung menatap Renge dengan mata lebar, "Kau menerima pelajar? Wow!" Lalu Hiro menatap sekelilingnya sekali lagi. "Apakah karyamu juga terpajang di sini?" Tanya Hiro lagi.
"Untuk kali ini aku tidak ikut pamerannya," balas perempuan itu dengan sedikit kecewa. "Aku tidak sempat menyelesaikan karyaku karena sibuk dengan kegiatan OSIS dan sekolah."
Hiro mengangkat sebelah alisnya. "Sangat disayangkan," ucap Hiro dengan nada kecewa juga. "Padahal aku sedikit berharap aku bisa melihat hasil karyamu di sini." Lagipula, Renge sudah melihatnya berdansa. Walaupun hanya beberapa lama saja.
"Mungkin lain waktu," jawab Renge sambil tersenyum kecil.
Hiro hanya mendengus. "Hebat ya, kita para seniman," ujar Hiro, memulai percakapan baru. Ia menatap lukisan yang terpasang di hadapannya. "Kita berekspresi dengan menghasilkan sebuah karya. Dan karya tersebut dilihat oleh orang lain. Layaknya berkomunikasi." Baru kali ini Hiro bisa membicarakan bebas mengenai seni pada orang lain, dan tentunya hal ini membuatnya senang. Walaupun berbeda jenis seni, namun Hiro menyukai seni dalam segala konteksnya.
Renge tertegun mendengar kata-kata Hiro. Ia merasakan sedikit tusukan di hatinya. Seniman? Kata tersebut terdengar sangat berat untuknya.
"Aku rasa aku tidak pantas untuk disebut seniman," ia membisik dengan pelan.
Lalu ia menoleh pada Renge dan menatap ke bawah. Sepertinya itu hal yang sensitif untuknya. Namun, ia sendiri pun juga tidak pantas disebut demikian. Ia berdansa, namun tak ada yang melihatnya.
Hiro pun kembali menatap lukisan di depannya. "Kau melukis. Kau telah menghasilkan karya. Mengapa tidak?" Jawab Hiro sambil tersenyum. "Siapapun yang bisa menghasilkan karya bisa disebut seniman." Tambahnya dengan sedikit girang, berharap ia bisa menaikkan situasinya menjadi lebih ringan.
Karena karyaku palsu, kata-kata tersebut hampir keluar dari mulutnya.
Renge segera menepis pikiran tersebut dan menggangguk pada perkataan Hiro. "B-betul katamu, Isao-kun. Maaf mendadak jadi negatif begini..."
Renge tersenyum kecil, ia senang sekaligus merasa bersalah membuat Hiro menghiburnya begini. Renge pun langsung mengganti topik pembicaraan. "Karyaku mungkin sedang tidak ada disini, tapi ada karya adikku. Apa kau mau melihatnya?"
Hiro kembali menatap Renge. Apakah dia memiliki rasa gelisah terhadap apa yang dihadapinya dalam seni? Jika benar, Hiro berempati. Lelaki itupun termenung sejenak ketika Renge meminta maaf.
Sangat ingin Hiro menanyakan hal tersebut pada perempuan di sampingnya, namun situasinya tidak tepat.
Hiro mengangguk, "Tentu," lalu ia memiringkan kepalanya, "aku tak tahu ternyata kau punya adik." Ya tentu saja, Hironori, karena Renge belum pernah mengatakan hal itu sebelumnya padamu, batinnya sambil menyeringai.
Renge langsung tersenyum, "Adikku namanya Tsubaki, ia lebih kecil 5 tahun dariku."
Renge kemudian menuntun Hiro ke depan sebuah lukisan besar yang dipampang di tengah galeri tersebut. Di dalam lukisan tersebut tergambarkan seorang wanita tersenyum yang sedang berdiri, bersantai di kebun bunganya. Wanita mengenakan kimono merah yang memiliki motif bunga sakura dan bangau.
"Ini karya adikku yang berjudul "Wanita Merah"," sebut Renge dengan rasa bangga.
"Wow," komentar Hiro ketika melihat lukisan adiknya Renge. "Adikmu sangat berbakat, ya." Tambahnya dengan sedikit senyum.
Renge terlihat sangat senang mendengar pujian dari Hiro. "Ia memiliki indera yang baik, ia juga bekerja sangat keras di lukisan ini. Jadi aku senang hasilnya jadi sangat memuaskan."
"Benarkah?" Hiro bertanya sambil tersenyum dan memerhatikan lukisan di depannya kembali.
"Memang, karya ini memiliki unsur kuat. Sudah semestinya karya ini mendapat pujian." Lanjutnya. "Kau bangga dengannya?" Tanya Hiro ketika ia menatap Renge.
Renge kembali tersenyum pada Hiro "Aku sangat bangga padanya."
Hiro menyeringai, "oh, ya? Baguslah jika begitu," ia memejamkan matanya sejenak, lalu ia membuka matanya, melirik Renge di sampingnya. "Bagaimana denganmu sendiri?" Hiro tidak menjabarkan pertanyaannya lebih lanjut, ia hanya menatap Renge dari sudut matanya.
"Aku... masih butuh banyak latihan," kata Renge sambil memainkan ujung roknya. Ia sendiri merasa bahwa gambarnya tidak cukup kompeten. Kata-kata dan kritikan ayahnya terus terbayang di benaknya. Betapa ia tidak memiliki identitas dan orisinalitas di lukisan-lukisannya. Hati Renge kembali menjadi kecut, namun ia tetap mempertahankan senyum di wajahnya.
"Apakah kau tertarik untuk melukis Isao-kun?" Tanya Renge, dengan harapan mengganti topik pembicaraan
"Tidak, bukan itu--" lalu Hiro menghentikan kalimatnya ketika ia melihat gestur tubuh Renge. Dan Hiro pun mulai sedikit mengerti mengenai siswi berambut panjang ikal ini.
Hiro pun menghela nafas. Jika dibandingkan, masalah mereka berdua dalam seni tidak jauh berbeda.
Lelaki tinggi itu mengeluarkan tawa kecil sambil mengembalikan pandangannya ke lukisan adik Renge yang terpajang di depannya. "Ya, aku tertarik dengan segala hal terkait dengan seni. Melukis, musik, puisi," lalu Hiro mengangkat kedua bahunya, "namun sejauh ini, aku hanya berdansa. Sesuatu... yang bisa kulontarkan semua ekspresiku."
Renge kembali teringat dengan dansa Hiro tempo hari (kali ini tidak terfokus pada badan setengah telanjang Hiro.) "Aku tidak terlalu tahu banyak tentang menari, tapi aku cukup terkagum melihatnya." Renge dapat merasakan semangat dan emosi yang dituangkan pemuda tersebut ke dalam tariannya. ia kagum pada Hiro yang dapat mengeluarkan segalanya pada tariannya.
Ia kagum sekaligus iri.
Hiro mendengus. "Seluruh karya seni mempunyai emosi masing-masing. Seperti lukisan ini, contohnya," ia menggerakkan tangannya ke arah lukisan di hadapannya, "aku bisa merasakan emosi di dalamnya. Juga, aku bisa saja menerjemahkannya ke dalam bentuk gerakan dansa, membuat suatu koreografi dan mengekspresikannya melalui dansa, menceritakan seorang wanita di suatu kebun bunga."
Lalu ia tertawa kecil dan mengangkat kedua bahunya, "namun sayangnya aku belum semahir itu. Yang selama ini aku lakukan hanyalah menyontoh dari video gerakan-gerakan dansa yang ada di internet."
Dan setelah kalimat itu, ia kembali menatap Renge, dengan muka sedikit muram namun juga dengan senyum lebar sebelahnya, "aku pun juga, tidak pantas untuk disebut seniman."
Renge kembali terbelalak dengan kata-kata Hiro. Segala kata yang ia sebutkan berdentum di hatinya. Namun kali ini ia merasa terhibur dengan perkataannya.
Aneh sekali, ia baru berkenalan dengan pemuda ini. Ucapannya blak-blakan, tapi entah mengapa ia merasa bahwa kegelisahannya berkurang setelah mendengarkan kata-kata tersebut. Apakah mungkin karena mereka sama-sama bergelut di dunia seni?
Renge pun mengeluarkan tawa kecil dan tersenyum, "Aku tetap merasa kau seniman yang lebih baik dariku, sih."
Senyum Hiro melebar dan tertawa dengan nafasnya. Seumur hidupnya, tidak pernah ada yang menyebutnya seorang seniman. Bahkan ibunya sekalipun, walaupun ia merupakan satu-satunya orang di dunia ini yang menerimanya bahwa ia berdansa.
Lelaki tinggi itu mengangkat kedua bahunya lagi. "Kau hanya baru mengintipku beberapa menit saja," lalu Hiro berbalik badan dari Renge, melihat lukisan yang lainnya yang terpajang di sekitar galeri, "dan aku pun belum pernah sekalipun melihat karyamu."
Ia kembali membalikkan badannya, menghadap Renge. Hiro tersenyum dan memiringkan kepalanya, "Jadi aku tidak tahu apakah aku bisa setuju dengan kalimat itu, Yoshi."
Renge mengeluarkan tawa kecil lagi. "Kuharap mungkin kapan-kapan kau dapat memperlihatkan tarianmu lagi."
Ia kemudian memainkan jarinya, "dan mungkin nanti ketika aku menyelesaikan lukisanku, aku bisa memperlihatkannya padamu."
Kedua alis Hiro sedikit terangkat mendengar Renge. Dan, sekali lagi, seumur hidupnya belum pernah ia tampil dihadapan siapapun selain ibunya. Dan penjaga studio. Hironori tidak tahu apakah ia bisa memperlihatkan dansanya di hadapan wanita ini.
Lagipula, perempuan ini sudah melihatnya berdansa. Terlebih lagi langsung di studio.
Hiro menghela nafas lembut dan kembali tersenyum, "baguslah. Aku akan menunggu." Lalu ia mendengus dan terkekeh, "dan pastikan kau tidak akan mengajak orang lain untuk melihat tarianku. Kau satu-satunya siswi di sekolah yang mengetahui jika aku berdansa." Namun Hiro sebenarnya tidak begitu yakin, karena bisa saja ada orang lain selain Renge dan penjaga studio yang mengetahui hal ini.
"Hal ini kau rahasiakan bukan? Aku tidak akan bilang pada siapapun kok," kata Renge sambil bergestur pura-pura mengunci mulutnya.
Hiro tertawa lebar, "benar juga, aku sudah pernah bilang sebelumnya, ya?" Lelaki berambut gelap itu memukul ringan kepalanya sendiri dengan kepalan tangannya, "tidak biasanya aku melupakan sesuatu."
Hiro menaruh tangan kanannya di pinggangnya, "kau bisa datang kapan saja. Hampir tiap hari ku berdansa, walau terkadang," Hiro menggeleng kepalanya pelan, "ada waktu ketika aku merasa tidak ingin berdansa. Dan hari Jumat. Di hari itu, studio terpakai latihan oleh para penari lainnya."
Renge mengatupkan kedua tangannya, "Aku sungguh menantinya!"
Beberapa saat kemudian, Hiro sedikit memalingkan wajahnya. "Aku... sudah lama tidak tampil di hadapan orang lain. Jadi bisa saja disaat nanti dansaku menjadi berantakan, dan jika itu terjadi, maafkan." Tambahnya dengan terkekeh.
Renge tertawa kecil melihat Hiro sedikit malu. Ternyata pemuda di depannya lebih lembut dibanding bayangannya. "Aku yakin Isao-kun akan tetap berdansa dengan baik."
Melihat reaksi Renge, Hiro membelalak dan merasa tengkuknya sedikit memanas. Secara reflek ia langsung mengusap leher belakangnya dan memalingkan tatapannya dari perempuan di hadapannya.
Belum pernah ia merasa seperti ini, dan juga ia belum pernah berinteraksi dengan seorang perempuan seperti... ini. Sebelum pikirannya mulai menguasai kepalanya dengan hal yang tidak-tidak, Hironori mencoba membalas Renge, namun tatapannya masih mengarah ke sampingnya dan dengan suara yang sedikit lebih berat, "aku harap demikian."
Renge sedikit tertegun melihat reaksi Hiro. Apakah ia tipe yang malu jika dipuji? Pertanyaan tersebut tersirat sekilas di pikiran Renge.
Hiro terdiam sejenak, lalu berdeham dan menegakkan tubuhnya (untuk menenangkan perasaan yang aneh tadi). Lelaki tinggi itu melihat lukisan di sampingnya, "jadi, adikmu ini... umur berapa?" Sebuah pertanyaan sederhana untuk mengembalikan mereka ke topik awal.
Mendengar pertanyaan Hiro, ia langsung menjawabnya dengan senyum, "Adikku berumur 12 tahun."
"Benarkah?" Balas Hiro dengan sebuah tanya lagi, lalu melihat kembali lukisan yang terpajang di hadapannya.
"Di umur yang masih muda sudah bisa melukis seperti ini? Aku terkesima." lanjutnya dengan senyum lebar sebelahnya.
"Memang! Dia memang hebat!" Sahut Renge kembali dengan penuh rasa bangga.
Lelaki tinggi itu termenung sesaat. Mengamati pembicaraan tadi, Renge yang tak punya kepercayaan diri atas kemampuan berkaryanya dan begitu bangganya memperlihatkan karya adiknya. Hiro tak ingin berspekulasi yang tidak-tidak, namun sepertinya, ia sudah bisa menduga apa masalah yang dialami Renge.
"Sudah berapa lama adikmu melukis?" Tanya Hiro lagi, kembali menatap Renge. "Dan juga dirimu, tentunya." Tambahnya, dengan sedikit memiringkan kepalanya.
"Kami sudah mulai menggambar dari kecil, hmm... sepertinya ketika umur 6 tahun." Jawab Renge sambil mengingat-ingat.
"Hmm. Sudah berlatih melukis dari kecil, ya? Pantas saja hasilnya sebagus ini."
"Dengan banyak latihan pasti bisa seperti ini, walau adikku lebih tanggap daripada murid murid lain."
Adiknya memang memiliki indera yang lebih baik darinya. Alhasil membuatnya mengerti bentuk dan warna dengan lebih cepat. Renge kembali melihat lukisan adiknya. Memang ia sungguh hebat, tak lama lagi pasti adiknya bisa mengejarnya dengan mudah. Hatinya sedikit berawan mengingatnya, tapi ia kembali meyakinkan diri agar tidak sedih. Baru saja Hiro menghiburnya, jadi ia tidak ingin bermuka masam di depan pemuda tersebut.
Dalam alih ingin menjauhkan pikiran tersebut Renge bertanya kembali pada Hiro, "Isao-kun sendiri sudah menari dari umur berapa?"
Pemuda bermata coklat cerah berdengung ketika Renge bertanya padanya, berpikir. "Sejujurnya, aku tidak tahu jawaban yang tepat untuk itu." Hironori menyentuh dagunya dengan jarinya. "Jika dalam konteks berapa lama aku sudah menari, aku sudah melakukannya selama hampir tiga tahun. Namun aku sendiri sudah tertarik berdansa pada saat ku berumur tujuh tahun."
Lalu Hiro melirik Renge dan mendengus. "Menurutmu, jawaban mana yang tepat?"
"Mungkin dulu hanya peminat, tapi sekarang pelaku?" Balas Renge sambil tertawa kecil.
Hiro terkekeh lebar mendengar respon Renge. "Mungkin kau benar."
Renge kembali bertanya, "Apakah Isao-kun pernah mengikuti lomba menari atau sejenisnya?" Seusai bertanya, Renge langsung menepuk jidatnya di dalam batinnya dan dengan cepat berkata, "A-ah, aku lupa kalau soal menari itu rahasia, maafkan."
Lalu Hiro sedikit kaget atas pertanyaan Renge dan matanya sedikit membelalak. Seketika ia langsung teringat akan masa kecilnya, yang sudah menunjukan ketertarikan dalam berdansa, lalu ditentang mentah-mentah oleh... orang itu. Hiro mengumpat dalam hati dan mukanya sedikit menggelap.
Mendengar Renge meminta maaf, Hiro menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil, walaupun sedikit kecut. "Tidak apa. Lagipula, kau sudah melihatku berdansa." Ia hening beberapa saat, lalu menghela nafas, untuk mengesampingkan pikiran masa lalunya itu. "Dan tidak. Selama ini, aku hanya berdansa di dalam studio Meiseki saja. Sendiri." Jawabnya dengan menyeringai. Hiro sedikit berharap Renge tidak melihat ekspresi suramnya sesaat.
Renge terdiam sesaat ketika mendengar jawaban hiro, apa yang menghentikannya untuk memperlihatkan tariannya keluar sana? Mungkin seperti layaknya Renge, Hiro pun punya masalahnya sendiri terhadap mengapa ia harus menari diam-diam begini.
"T-tapi sungguh sayang... Tarianmu harus disembunyikan seperti ini. Tarian itu seni performa bukan? Sepertinya sedikit... Sepi jika tidak ada yang melihat." Ucapnya sambil memainkan jarinya. "Apalagi tarian Isao-kun bagus menurutku," lanjutnya lagi.
Mendengar perkataan Renge, Hiro merasa terenyuh, sedih namun juga membuatnya... marah. Bukan terhadap perempuan di hadapannya, bukan. Terhadap orang-orang yang merupakan salah satu alasan terbesar mengapa ia tak bisa menunjukkan dansanya secara bebas. Terhadap orang-orang yang sudah mengurungnya di dalam suatu penjara yang membuatnya tidak percaya diri atas siapa dirinya yang sebenarnya.
Hironori seketika memejamkan matanya untuk menyembunyikan ekspresi amarahnya. Amarahnya terhadap para orang hipokrit, dendamnya terhadap orang yang melemparinya dengan komentar diskriminatif. Rasa keinginan yang beringas untuk menghabisi mereka yang pantas menerimanya di tangannya sendiri.
Rasanya di dalamnya mulai terbangkit seekor naga yang begitu liar yang berusaha keluar dari kandangnya.
Pemuda tinggi itu menghela nafas dengan pelan untuk menenangkan kebenciannya yang mulai menguasai dirinya. Lalu ia mencoba menatap Renge lurus pada matanya.
Dan seketika, naga yang liar itupun kembali terkurung dan terjinakkan.
Melihat wanita di hadapannya, Hiro tersenyum sedih. Kali ini, ia tidak menyembunyikan kesedihannya, karena apa yang dikatakan Renge begitu nyata sampai membuatnya sakit.
"Yoshihiro," mulainya dengan suara yang sedikit serak. "Aku tersentuh. Sungguh." Lalu ia terdiam sejenak, memberi jeda.
"Namun, sepertinya tidak semua orang berpikir demikian." Hiro menggelengkan kepalanya. "Bagi beberapa orang, dansaku hanyalah sampah tak berguna." Hiro mengepalkan kedua tangannya. "Dan dengan aku berdansa di studio seorang diri, aku tidak membuang sampah sembarangan, bukankah begitu?" Lanjutnya, dengan senyum muramnya.
Renge merasa hatinya ikut terkecut melihat wajah sedih Hiro, juga sedikit panik. Apakah ia sudah melampaui batas? Ini pasti topik yang sangat sensitif untuk Hiro.
"Tentu saja tidak begitu!" Sahutnya dengan agak kencang, ia tidak bisa tinggal diam ketika Hiro menganggap tariannya sampah.
"Aku bisa melihat bahwa Isao-kun sangat suka menari, walaupun ada yang tidak setuju pun kau tetap melakukannya bukan?" Renge kembali teringat dengan tarian Hiro yang ia intip, dan ia makin tersedih dengan kata-kata Hiro.
Renge melanjutkan kata-katanya, "Aku bisa melihat kau mengeluarkan emosimu di setiap gerakan tangan bahkan langkah kakimu... dari situ aku bisa melihat bahwa menari sangat penting untukmu Isao-kun... dan terlalu kejam jika hal sepenting itu disebut sampah..."
Renge pun sadar ia cukup terbawa emosi dan ia sudah berbicara seenaknya. Ia tidak mengetahui masalah Hiro dan topik ini dibawakan olehnya duluan, seketika ia langsung merasa segan dengan lelaki dihadapannya.
"M-maaf sudah menaikkan nadaku, aku jadi bicara seenaknya juga..." Renge melihat ke bawah dan memainkan ujung roknya lagi, ia tampak merasa bersalah.
Hiro membelalak lebar, sangat tidak menduga balasan Renge.
Hening sejenak.
Sudah berapa kali wanita ini membuatnya terkejut dengan reaksinya yang tidak ia duga? Hiro membatin. Dan, Renge berkomentar atas dansanya. Ia bisa melihat emosi yang ia keluarkan melalui dansa itu. Dan, Hiro berpikir, emosi apa yang dia lihat pada saat itu? Ia penasaran bahwa apakah dansanya memang seemosional itu.
Mungkin memang suatu saat nanti, ia ingin menunjukkan dansanya pada perempuan ini. Hanya ingin mendengar komentarnya saja.
Hiro mendengus, lalu tertawa dengan lembut. Perempuan satu ini memang sesuatu.
"Tidak apa, Yoshi. Aku... tersanjung. Terimakasih." Senyum Hiro lembut pada Renge. Tidak pernah sebelumnya ia mendapatkan pujian atas dansanya. Dan Hiro tidak tahu persis apa yang seharusnya ia rasakan. Memang dia merasa senang, namun sepertinya terasa sedikit asing baginya. Mungkin ini baru pertama kalinya ia dikomentari demikian.
Melihat Hiro tersenyum dengan lembut, Renge merasa lega. Ia bersyukur kalau ternyata ia tidak membuat pemuda di depannya tidak nyaman.
Pertama kali Renge melihat pemuda tersebut tersenyum seperti itu. Biasanya senyumannya lebih menyeringai, maka ia tak bisa menahan dari memandangi lelaki tinggi di hadapannya. "A-aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan kok...," katanya dilanjutkan dengan tawa kecil.
Hiro mendengus lembut, "Aku tahu." Hanya saja semua orang bisa seperti Yoshihiro Renge, mungkin ia tidak akan mempunyai rasa amarah yang selalu membuat dirinya mendidih. Namun kenyataan berkata tidak.
Ia terdiam sejenak, memerhatikan Renge beberapa saat.
Lalu tersadarkan diri, Hiro berdeham dan mengeluarkan ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang. Mungkin sudah waktunya ia menuju ke tempat lain. Atau kembali ke rumah.
"Sekali lagi," mulainya sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam sakunya. "Terimakasih telah mengajakku ke sini. Tapi mungkin sekarang sudah waktunya aku untuk pergi." Hiro memiringkan kepalanya dan tersenyum kecil. "Mungkin kapan-kapan aku akan kembali. Dan, aku menanti hasil lukisanmu, Yoshi."
"Oh, sayang sekali... padahal aku baru mau mengajakmu minum teh." Ucap Renge sedikit muram.
Namun mendengar Hiro ingin melihat lukisannya menbuatnya sedikit senang, "Aku akan bekerja keras agar aku bisa mencapai ekspektasimu!"
Hiro tersenyum dengan sedikit ekspresi muram. "Maafkan aku. Mungkin di lain waktu. Ada hal yang harus ku... bereskan." Dan hal itu merupakan pikirannya sendiri. Mengenai... banyak hal.
Hiro mengenakan syalnya, bersiap untuk pergi. Lalu ia menyeringai lebar ketika Renge membalasnya. "Senang mendengarnya. Ku akan menunggu."
"Sampai nanti, Yoshi."