Penulis: Morry & Cenayang Surya
Editor: Morry
Daftar karakter: Inoshishi Aru (Cenayang Surya), Isao Hironori (Morry)
Jumlah kata: 1500 kata
Rangkuman: Hironori baru saja ingin kembali ke kelasnya, namun Aru dengan pontang-panting berjalan menuju UKS dan menabrak teman sekelasnya itu, membuatnya terjatuh. Hiro rasanya sangat ingin berteriak mengapa ia harus menghadapi dua orang pingsan dalam satu hari ini.
Trigger warning: none
*Coupé: memiliki arti “potong” atau “memotong” dalam balet klasik, yaitu teknik langkah di mana satu kaki “memotong” kaki yang lain, mengambil posisinya
Editor: Morry
Daftar karakter: Inoshishi Aru (Cenayang Surya), Isao Hironori (Morry)
Jumlah kata: 1500 kata
Rangkuman: Hironori baru saja ingin kembali ke kelasnya, namun Aru dengan pontang-panting berjalan menuju UKS dan menabrak teman sekelasnya itu, membuatnya terjatuh. Hiro rasanya sangat ingin berteriak mengapa ia harus menghadapi dua orang pingsan dalam satu hari ini.
Trigger warning: none
*Coupé: memiliki arti “potong” atau “memotong” dalam balet klasik, yaitu teknik langkah di mana satu kaki “memotong” kaki yang lain, mengambil posisinya
Ia berpikir sudah beberapa kali ia menghela nafas panjang untuk hari ini. Namun apa guna, menghitungnya juga tidak akan melegakan rasa letihnya.
Aneh, padahal hari ini Hiro hanya mengangkat seorang anak yang ringan dibandingkan dirinya sendiri, dan hari ini ia tidak melakukan aktivitas yang membuatnya... sampai kehabisan stamina. Tetapi entah kenapa ia sudah merasa capek.
Hiro memijit pelipisnya. Mungkin batinnya yang sedang lelah. Menghadapi seorang anak yang melukai dirinya sendiri sampai hampir ia kehilangan nyawanya memanglah hal yang sangat tidak ia duga dan membuat emosinya bergejolak. Perasaan marah, panik dan frustrasi menjadi satu. Jika anak itu mengalami anemia tingkat akut, Hiro tidak mau berurusan dengannya lagi.
"Sepertinya aku harus melepas jaket ini," geram Hiro pelan. Jaket sekolah Shizumida miliknya ternodai oleh darah Chiura, juniornya yang baru saja ia antar ke UKS. Sambil berjalan menuju kelasnya, iapun melepas jaketnya dan akan segera mengikat bagian baju lengannya pada pinggangnya.
Aru melangkahkan kaki di koridor dengan tertatih-tatih. Menahan diri agar tidak tumbang sebelum ia mencapai tujuannya. Seharusnya ia meminta izin ke UKS sejak jam pelajaran pertama tadi, tapi ia tidak bisa melewatkan ujian dadakan itu begitu saja.
Alhasil, ia berusaha keras mengerjakan meski dalam kondisi pernapasan yang semakin memburuk.
Memandang ke arah depan, tampak buram layaknya berembun. Ia tak bisa membedakan apapun di hadapannya. Maka dari itu tak heran jika ia tak sengaja menyenggol seseorang di sana.
Dan di saat yang bersamaan, fisiknya pun turut tak sanggup mengikuti kehendaknya untuk bertahan.
Seseorang terkena lengan Hiro yang sedang memegang jaket dan ia menoleh ke arah orang tersebut.
Dan rasanya Hiro ingin berteriak sangat kencang. Hanya untuk hari ini saja. Ia ingin bertanya kepada Tuhan yang diatas sana, apa yang telah ia lakukan untuk dihadapi oleh dua orang yang jatuh di hadapannya hari ini.
Namun, apa boleh buat. Koridor sudah mulai sepi, siswa-siswi sudah pada kembali ke kelasnya masing-masing; sudah hampir waktunya masuk sesi jam pelajaran selanjutnya. Hanya Hiro yang berada di dekat orang yang... terlihat sangat lemas ini.
Dengan memutar bola matanya, Hiro mengikat jaketnya pada lingkar pinggangnya, lalu menghampiri lelaki yang terjatuh akibat tersenggol dirinya (dan Hiro yakin lengannya tidak ia gerakkan sampai bisa membuat orang yang terlihat lebih tinggi darinya terjatuh lemas, walaupun, ya, tangannya memang berotot), berjongkok dan menggenggam lengan lelaki itu, berusaha membangkitkannya kembali.
"Hey, kau tidak apa-apa? Maaf jika... lenganku terasa keras untuk badanmu," ucap Hiro dengan ekspresi heran. Tentu saja heran, ia tidak merasa lengannya begitu kuatnya untuk menjatuhkan seorang lelaki yang lebih tinggi darinya hanya dari sebuah senggolan. Dan, ketika ia perhatikan wajah lelaki itu, Hiro merasa lelaki ini tidak asing baginya.
Tentu saja. Lelaki tersebut merupakan teman sekelasnya. Muka Hiro semakin mengerut penuh keheranan.
Aru mengerjapkan kedua matanya beberapa kali untuk menjernihkan pandangannya dan baru menyadari dirinya ternyata telah ditopang oleh seseorang, yang kebetulan teman kelasnya sendiri.
"I-Isao...-san?" Ucapnya terbata-bata karena rasa sesak menyerang paru-parunya.
"Ino?" Hiro sedikit terbelalak ketika ia sudah menyadari penuh siapa lelaki tersebut. Mendengar nafasnya yang tersendat-sendat, Hiro segera merangkul Inoshishi Aru dan berjalan dengan pelan menuju ke ruangan UKS. Lagi.
Jika ia tidak salah ingat, anak yang baru saja ia antar ke ruang UKS juga bernama marga yang sama. Apakah memang benar mereka berdua relatif?
Jika iya, Hiro sangat ingin mengutuk keluarga Inoshishi yang telah merepotkannya hari ini. Persetan jika Inoshishi merupakan keluarga yang mempunyai perusahaan perikanan terbesar di Meiseki. Hiro tidak peduli.
Seiring menuntun Aru ke UKS, Hiro mengangkat sebelah alisnya dan bertanya, "Aku memang sempat melihatmu terlihat tidak sehat sepanjang kelas tadi, tetapi menahannya sampai seperti ini...," Hiro mengakhiri kalimatnya dengan menggelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang.
Hiro berpikir mungkin ia tidak akan berdansa untuk hari ini. Ia menduga bahwa hari ini akan menjadi hari yang melelahkan untuknya.
"A-aku tidak bisa melewatkan u-ujian tadi..." jawabnya dengan susah payah.
Jujur saja ia merasa tak enak dengan Hiro yang sudah membantunya menuju UKS (dan itu sebabnya ia juga tak meminta bantuan siapa pun sedari tadi). Tapi mengingat kondisinya yang sudah di ambang batas, ia pun tak bisa berbuat apa-apa lagi.
"M-maaf harus m-merepotkanmu b-begini...."
"Yah," Hiro sedikit mengangkat bahunya. "Sepertinya memang sudah ditakdirkan aku menjadi penolong kalian." Ketika sampai di depan pintu UKS yang masih terbuka, ia berhenti sejenak dan menatap Aru.
"Adikmu juga telah merepotkanku. Dia juga berada di dalam, kusuruh dia untuk tetap diam disini sampai selesai jam sekolah." Ia menunjuk ke dalam ruangan UKS dengan dagunya. Bagian ruang kasur yang ditempati oleh Chiu, tertutup oleh tirai. Hiro tak tahu apakah anak itu sudah kembali tertidur atau belum.
Jika mereka akan memulai sebuah drama keluarga di sini, geram Hiro dalam hati dan mulai melangkah ke dalam ruangan, ia akan segera meninggalkan tempat ini seusai ia menuntun Aru ke kasur UKS.
Pemuda itu mengerutkan alisnya saat Hiro mulai membawa nama adiknya ke dalam pembicaraan.
"A-apa yang dia lakukan s-sampai masuk sini?" Ia bertanya-tanya sampai membatin. Apakah ini efek dari pertengkaran tadi pagi? (Abaikan masalah alerginya karena itu hasil keisengan Chiura).
Lelaki berambut cokelat gelap itu menuntun Aru ke kasur terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaannya. "Ketika aku menemukannya di atap, aku melihat dia sedang melukai pergelangan tangannya." Hiro menunjuk tirai di belakangnya dengan jempol kanannya. Lalu ia melipat kedua tangannya di depan badannya, "pada saat aku akan menghentikannya, anak ini memotong tangannya terlalu dalam dan membuatnya pingsan karena hampir kehabisan darah."
Hiro memijit pelipisnya dan menghela nafas. "Dia akan sangat butuh transfusi darah atau makan daging yang sangat banyak."
"M-melukai dirinya sendiri?"
Oh tidak... apa yang sudah ia lakukan? Chiura melukai diri sendiri dan sekarang ia dalam kondisi yang buruk.
Kalau saja ia tak menolak permintaannya, kejadiannya tak akan seperti ini.
Aru langsung bangkit untuk segera melihat keadaan adiknya. Namun baru saja melangkah, ia sudah tumbang. Gejala alerginya yang semakin parah ditambah pikirannya yang turut kalang kabut membuat fisiknya tak sanggup menahan beban dan ia pun langsung tak sadarkan diri.
"Oi," Hiro menahan Aru untuk tidak bangkit dari kasurnya, namun seketika beban badannya langsung terjatuh pada Hiro, dan Hiro pun reflek mengeratkan genggaman tangannya pada kedua lengan Aru.
Hiro terdiam sejenak.
"Ada apa dengan Inoshishi bersaudara dengan pingsannya!?" Geram Hiro kencang, kesabarannya mulai habis. Ia menggelengkan kepalanya dan menghela nafas yang sangat panjang, untuk mengisi ulang kesabarannya. Lalu Hironori berusaha untuk membaringkan Aru pada kasur.
Dan bel masuk kelas pun berbunyi. Dan Hiro mengumpat dalam hati dan memijit pelipisnya kembali.
Ke manakah dokter UKS? Sepertinya jam waktu istirahat sekolah berlaku untuk dokter UKS juga. Namun Hiro tidak habis pikir mengapa ruang UKS ditinggal kosong seperti ini. Walaupun memang, ini merupakan kesempatan baginya untuk bolos dari sesi jam pelajaran, tetapi Hiro lebih memilih untuk kembali ke kelas dibanding untuk mengurusi dua orang yang pingsan, terlebih lagi mereka kakak-beradik. Bisa saja ketika mereka mulai sadarkan diri mereka memulai suatu keributan.
Ya. Hiro lebih memilih untuk kembali ke kelas.
Panjang umur, ketika Hiro sedang menggeram dalam hati, seorang wanita dengan jas putih memasuki ruangan.
"Isao-kun? Sedang apa kau disini?" Tanya wanita itu, yang merupakan seorang dokter UKS di sini.
"Sensei," Hiro menegapkan badannya dan menatap dokter itu. Akhirnya, Hiro membatin. Dan ternyata memang jam waktu istirahat berlaku untuk dokter UKS di sini. "Uh, aku baru saja mengantar Inoshishi ke sini. Dan ia pingsan." Lalu ia melirik tirai di sampingnya. "Dua Inoshishi, lebih tepatnya."
"Pingsan?" Dokter itu membelalak. "Apa yang terjadi pada mereka?"
Sebab inilah Hiro tidak mau mencampuri urusan orang lain. Ia menjadi saksi, menjadi orang yang akan diminta tanggung jawab, menjadi orang yang akan ditanya oleh apa yang terjadi pada orang yang mengalami masalah tersebut.
Hiro memutar bola matanya dalam hati.
Lelaki tinggi itu mengusap tengkuknya dan menghela nafas. "Secara singkat, Inoshishi muda kehabisan darah, kemungkinan ia segera membutuhkan transfusi darah, dan Inoshishi yang ini," Hiro membuka telapak tangannya, mengarahkannya pada Aru yang sedang terkulai lemas. "Aku tidak tahu persis apa yang terjadi padanya, tetapi ketika aku bertemu dengannya, ia sudah sangat lemas, nafasnya tidak beraturan."
"Oh, tidak," ucap dokter wanita itu dengan panik. "Kita harus segera memanggil tim UKS untuk menolong mereka--"
"Sensei," Hiro memotong perkataan dokter itu dengan sedikit ketegasan. Ia tidak mau lagi mencampuri urusan ini dengan memanggil siswa-siswi UKS. Walaupun memang, Hiro merupakan mantan anggota UKS pada waktu ia kelas 1, namun sekarang ia sudah tidak menjadi anggota, dan ia harusnya lepas dari tugas-tugas yang berkaitan dengan organisasi ini.
"Kelas sudah dimulai. Aku ingin segera kembali ke kelas. Namun," Hiro kembali menegapkan postur tubuhnya, "aku akan memanggil seorang perwakilan untuk membantu Sensei dalam hal ini."
Walaupun Hiro tidak ingin lanjut mengurusi masalah ini, setidaknya ia tahu hal ini tidak bisa dilakukan sendirian. Seorang Hironori pun tahu mengurusi dua orang pingsan yang segera membutuhkan bantuan medis bukanlah hal yang mudah.
"O-oh, baiklah, Isao-kun," dokter wanita itu mengangguk. "Terimakasih atas bantuannya. Aku akan segera mengecek mereka berdua sekarang."
Hiro membalas anggukan dokter tersebut disertai dengan senyum kecil. "Kuakan kembali ke kelas. Mungkin kuakan memanggil Ono-kun ke sini." Ucapnya, dan ia mulai melangkah meninggalkan ruangan UKS.
"Baik, terimakasih, Isao-kun." Dan dokter wanita itu juga mulai menghampiri Aru dan mengecek kondisinya.
Hironori mengangguk sekali lagi, dan mulai mempercepat langkahnya menuju kelas.
Kedua anak itu akan mempunyai hutang balas budi yang banyak padanya.
Aneh, padahal hari ini Hiro hanya mengangkat seorang anak yang ringan dibandingkan dirinya sendiri, dan hari ini ia tidak melakukan aktivitas yang membuatnya... sampai kehabisan stamina. Tetapi entah kenapa ia sudah merasa capek.
Hiro memijit pelipisnya. Mungkin batinnya yang sedang lelah. Menghadapi seorang anak yang melukai dirinya sendiri sampai hampir ia kehilangan nyawanya memanglah hal yang sangat tidak ia duga dan membuat emosinya bergejolak. Perasaan marah, panik dan frustrasi menjadi satu. Jika anak itu mengalami anemia tingkat akut, Hiro tidak mau berurusan dengannya lagi.
"Sepertinya aku harus melepas jaket ini," geram Hiro pelan. Jaket sekolah Shizumida miliknya ternodai oleh darah Chiura, juniornya yang baru saja ia antar ke UKS. Sambil berjalan menuju kelasnya, iapun melepas jaketnya dan akan segera mengikat bagian baju lengannya pada pinggangnya.
Aru melangkahkan kaki di koridor dengan tertatih-tatih. Menahan diri agar tidak tumbang sebelum ia mencapai tujuannya. Seharusnya ia meminta izin ke UKS sejak jam pelajaran pertama tadi, tapi ia tidak bisa melewatkan ujian dadakan itu begitu saja.
Alhasil, ia berusaha keras mengerjakan meski dalam kondisi pernapasan yang semakin memburuk.
Memandang ke arah depan, tampak buram layaknya berembun. Ia tak bisa membedakan apapun di hadapannya. Maka dari itu tak heran jika ia tak sengaja menyenggol seseorang di sana.
Dan di saat yang bersamaan, fisiknya pun turut tak sanggup mengikuti kehendaknya untuk bertahan.
Seseorang terkena lengan Hiro yang sedang memegang jaket dan ia menoleh ke arah orang tersebut.
Dan rasanya Hiro ingin berteriak sangat kencang. Hanya untuk hari ini saja. Ia ingin bertanya kepada Tuhan yang diatas sana, apa yang telah ia lakukan untuk dihadapi oleh dua orang yang jatuh di hadapannya hari ini.
Namun, apa boleh buat. Koridor sudah mulai sepi, siswa-siswi sudah pada kembali ke kelasnya masing-masing; sudah hampir waktunya masuk sesi jam pelajaran selanjutnya. Hanya Hiro yang berada di dekat orang yang... terlihat sangat lemas ini.
Dengan memutar bola matanya, Hiro mengikat jaketnya pada lingkar pinggangnya, lalu menghampiri lelaki yang terjatuh akibat tersenggol dirinya (dan Hiro yakin lengannya tidak ia gerakkan sampai bisa membuat orang yang terlihat lebih tinggi darinya terjatuh lemas, walaupun, ya, tangannya memang berotot), berjongkok dan menggenggam lengan lelaki itu, berusaha membangkitkannya kembali.
"Hey, kau tidak apa-apa? Maaf jika... lenganku terasa keras untuk badanmu," ucap Hiro dengan ekspresi heran. Tentu saja heran, ia tidak merasa lengannya begitu kuatnya untuk menjatuhkan seorang lelaki yang lebih tinggi darinya hanya dari sebuah senggolan. Dan, ketika ia perhatikan wajah lelaki itu, Hiro merasa lelaki ini tidak asing baginya.
Tentu saja. Lelaki tersebut merupakan teman sekelasnya. Muka Hiro semakin mengerut penuh keheranan.
Aru mengerjapkan kedua matanya beberapa kali untuk menjernihkan pandangannya dan baru menyadari dirinya ternyata telah ditopang oleh seseorang, yang kebetulan teman kelasnya sendiri.
"I-Isao...-san?" Ucapnya terbata-bata karena rasa sesak menyerang paru-parunya.
"Ino?" Hiro sedikit terbelalak ketika ia sudah menyadari penuh siapa lelaki tersebut. Mendengar nafasnya yang tersendat-sendat, Hiro segera merangkul Inoshishi Aru dan berjalan dengan pelan menuju ke ruangan UKS. Lagi.
Jika ia tidak salah ingat, anak yang baru saja ia antar ke ruang UKS juga bernama marga yang sama. Apakah memang benar mereka berdua relatif?
Jika iya, Hiro sangat ingin mengutuk keluarga Inoshishi yang telah merepotkannya hari ini. Persetan jika Inoshishi merupakan keluarga yang mempunyai perusahaan perikanan terbesar di Meiseki. Hiro tidak peduli.
Seiring menuntun Aru ke UKS, Hiro mengangkat sebelah alisnya dan bertanya, "Aku memang sempat melihatmu terlihat tidak sehat sepanjang kelas tadi, tetapi menahannya sampai seperti ini...," Hiro mengakhiri kalimatnya dengan menggelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang.
Hiro berpikir mungkin ia tidak akan berdansa untuk hari ini. Ia menduga bahwa hari ini akan menjadi hari yang melelahkan untuknya.
"A-aku tidak bisa melewatkan u-ujian tadi..." jawabnya dengan susah payah.
Jujur saja ia merasa tak enak dengan Hiro yang sudah membantunya menuju UKS (dan itu sebabnya ia juga tak meminta bantuan siapa pun sedari tadi). Tapi mengingat kondisinya yang sudah di ambang batas, ia pun tak bisa berbuat apa-apa lagi.
"M-maaf harus m-merepotkanmu b-begini...."
"Yah," Hiro sedikit mengangkat bahunya. "Sepertinya memang sudah ditakdirkan aku menjadi penolong kalian." Ketika sampai di depan pintu UKS yang masih terbuka, ia berhenti sejenak dan menatap Aru.
"Adikmu juga telah merepotkanku. Dia juga berada di dalam, kusuruh dia untuk tetap diam disini sampai selesai jam sekolah." Ia menunjuk ke dalam ruangan UKS dengan dagunya. Bagian ruang kasur yang ditempati oleh Chiu, tertutup oleh tirai. Hiro tak tahu apakah anak itu sudah kembali tertidur atau belum.
Jika mereka akan memulai sebuah drama keluarga di sini, geram Hiro dalam hati dan mulai melangkah ke dalam ruangan, ia akan segera meninggalkan tempat ini seusai ia menuntun Aru ke kasur UKS.
Pemuda itu mengerutkan alisnya saat Hiro mulai membawa nama adiknya ke dalam pembicaraan.
"A-apa yang dia lakukan s-sampai masuk sini?" Ia bertanya-tanya sampai membatin. Apakah ini efek dari pertengkaran tadi pagi? (Abaikan masalah alerginya karena itu hasil keisengan Chiura).
Lelaki berambut cokelat gelap itu menuntun Aru ke kasur terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaannya. "Ketika aku menemukannya di atap, aku melihat dia sedang melukai pergelangan tangannya." Hiro menunjuk tirai di belakangnya dengan jempol kanannya. Lalu ia melipat kedua tangannya di depan badannya, "pada saat aku akan menghentikannya, anak ini memotong tangannya terlalu dalam dan membuatnya pingsan karena hampir kehabisan darah."
Hiro memijit pelipisnya dan menghela nafas. "Dia akan sangat butuh transfusi darah atau makan daging yang sangat banyak."
"M-melukai dirinya sendiri?"
Oh tidak... apa yang sudah ia lakukan? Chiura melukai diri sendiri dan sekarang ia dalam kondisi yang buruk.
Kalau saja ia tak menolak permintaannya, kejadiannya tak akan seperti ini.
Aru langsung bangkit untuk segera melihat keadaan adiknya. Namun baru saja melangkah, ia sudah tumbang. Gejala alerginya yang semakin parah ditambah pikirannya yang turut kalang kabut membuat fisiknya tak sanggup menahan beban dan ia pun langsung tak sadarkan diri.
"Oi," Hiro menahan Aru untuk tidak bangkit dari kasurnya, namun seketika beban badannya langsung terjatuh pada Hiro, dan Hiro pun reflek mengeratkan genggaman tangannya pada kedua lengan Aru.
Hiro terdiam sejenak.
"Ada apa dengan Inoshishi bersaudara dengan pingsannya!?" Geram Hiro kencang, kesabarannya mulai habis. Ia menggelengkan kepalanya dan menghela nafas yang sangat panjang, untuk mengisi ulang kesabarannya. Lalu Hironori berusaha untuk membaringkan Aru pada kasur.
Dan bel masuk kelas pun berbunyi. Dan Hiro mengumpat dalam hati dan memijit pelipisnya kembali.
Ke manakah dokter UKS? Sepertinya jam waktu istirahat sekolah berlaku untuk dokter UKS juga. Namun Hiro tidak habis pikir mengapa ruang UKS ditinggal kosong seperti ini. Walaupun memang, ini merupakan kesempatan baginya untuk bolos dari sesi jam pelajaran, tetapi Hiro lebih memilih untuk kembali ke kelas dibanding untuk mengurusi dua orang yang pingsan, terlebih lagi mereka kakak-beradik. Bisa saja ketika mereka mulai sadarkan diri mereka memulai suatu keributan.
Ya. Hiro lebih memilih untuk kembali ke kelas.
Panjang umur, ketika Hiro sedang menggeram dalam hati, seorang wanita dengan jas putih memasuki ruangan.
"Isao-kun? Sedang apa kau disini?" Tanya wanita itu, yang merupakan seorang dokter UKS di sini.
"Sensei," Hiro menegapkan badannya dan menatap dokter itu. Akhirnya, Hiro membatin. Dan ternyata memang jam waktu istirahat berlaku untuk dokter UKS di sini. "Uh, aku baru saja mengantar Inoshishi ke sini. Dan ia pingsan." Lalu ia melirik tirai di sampingnya. "Dua Inoshishi, lebih tepatnya."
"Pingsan?" Dokter itu membelalak. "Apa yang terjadi pada mereka?"
Sebab inilah Hiro tidak mau mencampuri urusan orang lain. Ia menjadi saksi, menjadi orang yang akan diminta tanggung jawab, menjadi orang yang akan ditanya oleh apa yang terjadi pada orang yang mengalami masalah tersebut.
Hiro memutar bola matanya dalam hati.
Lelaki tinggi itu mengusap tengkuknya dan menghela nafas. "Secara singkat, Inoshishi muda kehabisan darah, kemungkinan ia segera membutuhkan transfusi darah, dan Inoshishi yang ini," Hiro membuka telapak tangannya, mengarahkannya pada Aru yang sedang terkulai lemas. "Aku tidak tahu persis apa yang terjadi padanya, tetapi ketika aku bertemu dengannya, ia sudah sangat lemas, nafasnya tidak beraturan."
"Oh, tidak," ucap dokter wanita itu dengan panik. "Kita harus segera memanggil tim UKS untuk menolong mereka--"
"Sensei," Hiro memotong perkataan dokter itu dengan sedikit ketegasan. Ia tidak mau lagi mencampuri urusan ini dengan memanggil siswa-siswi UKS. Walaupun memang, Hiro merupakan mantan anggota UKS pada waktu ia kelas 1, namun sekarang ia sudah tidak menjadi anggota, dan ia harusnya lepas dari tugas-tugas yang berkaitan dengan organisasi ini.
"Kelas sudah dimulai. Aku ingin segera kembali ke kelas. Namun," Hiro kembali menegapkan postur tubuhnya, "aku akan memanggil seorang perwakilan untuk membantu Sensei dalam hal ini."
Walaupun Hiro tidak ingin lanjut mengurusi masalah ini, setidaknya ia tahu hal ini tidak bisa dilakukan sendirian. Seorang Hironori pun tahu mengurusi dua orang pingsan yang segera membutuhkan bantuan medis bukanlah hal yang mudah.
"O-oh, baiklah, Isao-kun," dokter wanita itu mengangguk. "Terimakasih atas bantuannya. Aku akan segera mengecek mereka berdua sekarang."
Hiro membalas anggukan dokter tersebut disertai dengan senyum kecil. "Kuakan kembali ke kelas. Mungkin kuakan memanggil Ono-kun ke sini." Ucapnya, dan ia mulai melangkah meninggalkan ruangan UKS.
"Baik, terimakasih, Isao-kun." Dan dokter wanita itu juga mulai menghampiri Aru dan mengecek kondisinya.
Hironori mengangguk sekali lagi, dan mulai mempercepat langkahnya menuju kelas.
Kedua anak itu akan mempunyai hutang balas budi yang banyak padanya.