Penulis: Masanda Hananisa & Mani Mani
Editor: Masanda Hananisa
Daftar karakter: Isao Hironori (Masanda Hananisa), Yoshihiro Renge (Mani Mani)
Jumlah kata: 2605 kata
Rangkuman: Renge secara tidak sengaja melihat Hironori berdansa di studio dan ketahuan olehnya, dan keesokan harinya Renge meminta maaf kepada Hironori di kelas akibat kejadian tersebut.
Trigger warning: none
*Danseur: sebutan untuk “penari pria” dalam istilah balet klasik.
*Reference to the dance: link
*Cover art by Mani Mani
Editor: Masanda Hananisa
Daftar karakter: Isao Hironori (Masanda Hananisa), Yoshihiro Renge (Mani Mani)
Jumlah kata: 2605 kata
Rangkuman: Renge secara tidak sengaja melihat Hironori berdansa di studio dan ketahuan olehnya, dan keesokan harinya Renge meminta maaf kepada Hironori di kelas akibat kejadian tersebut.
Trigger warning: none
*Danseur: sebutan untuk “penari pria” dalam istilah balet klasik.
*Reference to the dance: link
*Cover art by Mani Mani
"Hari ini, dansa apa ya?" Hironori bergumam sambil menggulir layar ponselnya.
Di suatu hari yang sore di dalam studio dansa di tengah kota Meiseki, hanya dia seorang diri. Sudah menjadi kebiasaannya ia berdansa sendiri—ya, memang jikalau ia ingin berdansa, salah satu syaratnya studio dalam keadaan tidak terpakai dan kosong. Kedua adalah, ya, jika ia merasa ingin melakukannya. Tetapi seringnya ia memilih untuk berdansa ketika syarat pertama terpenuhi. Bahkan di hari yang buruk pun ia memutuskan untuk berdansa. Untuk dilampiaskan.
Jadwal latihan dansa dilakukan setiap hari Jum’at, oleh para penari wanita dan b-boy. Tentunya studio terpakai dan Hironori bukanlah salah satu dari mereka. Dia... sedikit berbeda.
Sementara para penari yang lain mengenakan kostum dansa dengan desain yang lucu dan kasual sederhana dengan gaya hip-hop, Hironori berdansa hanya menggunakan celana legging ketatnya. Ya, dia berdansa telanjang dada. Dengan rambutnya yang diikat ke belakang, serta sweatbands yang dipakai di kedua pergelangan tangannya. Kostum hanya menghalangi badanmu untuk berekspresi bebas. Dalam berdansa, semua adalah tentang berekspresi.
Paling tidak, itulah pendapat pribadinya.
Hiro menghentikan jarinya pada layar ponselnya. Ia sudah memutuskan dansa apa yang ingin ia lakukan. Pada layar, jarinya terhenti pada satu judul lagu. Lagu yang akan ia gunakan untuk dansa hari ini.
"Baiklah," Hiro menyeringai. Ia meletakkan teleponnya di pinggir ruangan studio dan mengencangkan volume suara ponselnya, lalu mengetuk layarnya pada judul lagu tersebut.
Hiro segera mengambil posisi ditengah ruangan studio.
Ketika musik di mulai, Hironori pun seketika tenggelam ke dalam dansanya.
Di sisi lain, Yoshihiro Renge sedang di dalam perjalanan pulang dari sekolah. Ia telah menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan keperluan OSIS, dan hari ini ia tidak memiliki kursus tambahan. Renge memikirkan apa yang akan ia lakukan di sore yang luang ini.
“Mungkin aku bisa pergi ke toko buku, kalau tidak salah edisi buku karangan Souseki Natsume terbit hari ini,” gumamnya, dan perhatiannya tertuju pada seekor kucing liar gendut yang sedang tidur di pinggir jalan.
“Ah, lucunya,” bisik Renge sambil mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto kucing tersebut. Renge tersenyum melihat hasil fotonya dan ia kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Dan ia telah memutuskan untuk berganti pakaian terlebih dahulu di rumah, setelah itu ia akan pergi ke toko buku.
Letak rumah Renge tidak jauh dari studio dansa Meiseki. Ia jarang menghampiri studio tersebut, namun beberapa kali ia mengintip penari melakukan latihannya.
Ketika Renge melewati studio dansa itu, terdengar musik dimainkan dari dalam ruangan studio. Perhatian Renge pun tertuju kearah studio dansa tersebut.
“Oh, hari ini ada yang latihan juga ya. Apakah para nona-nona minggu kemarin sedang berlatih lagi?” Penasaran, Renge masuk ke dalam studio dan melihat dari jendela ruangan siapa yang sedang menari hari ini.
Renge melihat siapa penari hari ini dan Renge tercengang. Dalam beberapa hal.
Pertama, ternyata penari itu adalah seorang pria. Kedua, pria itu tidak memakai baju atasan. Pria tersebut seolah-olah telanjang dan Renge langsung menutupi kedua matanya dengan kedua tangannya.
“Aduh, memalukan sekali, mengapa dia tidak memakai baju...” Renge termangu-mangu. Perasaannya bertentangan antara harus pergi sekarang atau menonton pria itu berdansa sedikit lagi. Akhirnya ia memilih pilihan kedua, hanya karena rasa penasaran.
Renge mengintip dari sela-sela jarinya. Pria tersebut terlihat familiar, seperti ia pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Selain itu, pria ini berdansa seolah... emosinya sangat meluap. Ia berdansa dengan penuh tenaga, segala gerakan ia lakukan dengan energi. Beberapa gerakan ia lihat dengan sangat mulus dan akrobatik seperti berputar di udara. Renge melihat dansa pria tersebut dengan takjub.
Namun satu hal yang Renge sadari dari tarian sang pria tersebut, ia menari seolah ia... berusaha untuk mencari bantuan. Berusaha untuk bebas dari suatu perangkap. Ada apa dengan dia? Sedang dalam masalah, mungkin? Apakah dia sedang tersakiti? Dan Renge menyadari kembali bahwa betapa besarnya emosi dan ekspresi yang dituangkan oleh pria ini ke dalam dansanya.
Hironori pun terus berdansa, mengikuti aliran musik yang dimainkan dari ponselnya. Adakah orang yang akan benar-benar menolongku? Batin Hiro, menyerapi gerakan dansanya. Dia tidak sedang berada dalam masalah. Hanya saja ia berpikir, setelah beberapa tahun ia hidup tanpa kedua orangtuanya—tidak, tanpa ibunya, ia terperangkap dalam perasaan ini. Perasaan yang tidak bisa ia jabarkan. Yang hanya bisa ia lampiaskan ke dalam dansanya, yang hampir tiap hari ia lakukan.
Ah, tak peduli, batinnya lagi. Aku akan terus melakukan hal yang ingin aku lakukan sekarang. Hiro berputar di udara dan berlandas, dan memegang kepalanya dengan kedua tangannya dengan penuh emosi. Namun, pikirnya kembali. Sampai kapan aku akan terus begini?
Sampai kapan? Hironori kembali tegak dan segera mengambil gerakan selanjutnya. Sampai kapan perasaan ini terus mengangguku?
Sampai ia merasa ada satu pasang mata yang menatapnya.
Ia pun segera menoleh kearah tatapan yang ia rasakan. Dan dugaan ia benar; ada seorang wanita kecil yang mengintip melalui jendela ruangan studio.
Hiro menatap balik wanita itu dengan tampang datar. Ia tidak mengerti, tapi disaat detik itu, semua pikirannya terhenti; dansanya juga terhenti. Dan tampaknya dunia pun terhenti serta baginya.
Renge terlepas dari lamunannya dan sadar bahwa ia tertangkap basah. Pria itu menatapnya balik dan ia berhenti berdansa. Dan Renge kembali menyadari bahwa ia sedang melakukan hal yang tidak sopan.
“E-Eh, anu, em... Ma-maaf!” Renge menjerit kecil dan segera lari keluar dari studio, setelah membungkukkan badannya sebagai gestur permintaan maaf. Renge langsung melanjutkan perjalanannya ke rumah. Apa yang telah kulakukan? Pikirnya.
...apa yang telah terjadi?
Hironori mencoba mengumpulkan kembali pikiran yang seketika menghilang dari dalam kepalanya beberapa detik yang lalu.
Oh, dia baru saja melihat seseorang yang telah mengintipnya berdansa. Wanita, lebih jelasnya.
"...tadi siapa ya," gumam Hiro. Rasanya ia familiar dengan wanita tersebut. Namun pikirannya yang sudah seketika kabur dan menghilang saat ini dan ia tidak mampu untuk mengingatnya.
Tetapi, ada yang lebih penting lagi. Dan itu sangat membuat Hironori panik seketika. Pikirannya yang berawal kosong langsung dibanjiri oleh segala pikiran yang membuatnya paranoid.
Wanita itu telah melihatnya berdansa. Apa yang akan terlintas dipikiran wanita itu ketika ia melihat seorang pria berdansa? Terlebih lagi dansa yang menggunakan teknik balet. Apakah dia akan tertawa? Pasti dia akan tertawa. Ia langsung lari ketika Hiro melihatnya disela mengintip. Wanita itu pasti menertawakannya disaat ia berlari.
Sejak kapan wanita itu berada disana? Mengapa dia bisa berada disana? Seharusnya hari ini tidak ada jadwal latihan dansa. Sudah berapa lama wanita itu mengamatinya ia berdansa? Jangan-jangan, sudah dari beberapa hari yang lalu orang itu melihatnya ia berdansa.
Yang lebih penting lagi, seragam yang wanita tadi pakai... kalau ia tidak salah lihat, seragam tersebut adalah seragam sekolah menengah tinggi Shizumida. Terlihat dari warna dasinya dan jas yang ia pakai.
Mungkin dugaannya benar, wanita itu satu sekolah dengannya. Tentu saja familiar. Namun, siapa dia? Sekelas dengannya kah? Hiro tak bisa meluruskan pikirannya.
Pertanyaan demi pertanyaan terus menjajah kepala Hironori dan tak bisa ia hentikan. Namun tak lama, Hiro mendapatkan pernyataan atas situasi sekarang. Dan dilanjuti oleh beberapa pertanyaan lagi.
Besok hari sekolah. Mungkin ia akan bisa menemui wanita itu di sekolah. Tetapi, apa yang akan ia lakukan ketika ia bertemu dengan wanita itu? Apakah lebih baik ia menghindar? Atau menghampirinya dan berusaha menjelaskan apa yang telah terjadi hari ini? Bahwa ia hanya sedang bermain dan bosan?
Terdengar konyol. Dan seorang Isao Hironori tak pernah berbohong.
Berpikir lurus nampaknya susah bagi Hiro untuk sekarang ini.
Hiro menggaruk kepalanya, frustasi. Suasana hati Hiro mulai tidak stabil. Dan pada saat inilah, ia memutuskan untuk berhenti berdansa dan pergi pulang. Suasana hati, jika tidak stabil akan mempengaruhi performa dansanya. Kepalanya juga diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya semakin pusing dan tidak fokus. Ditambah dengan perasaan cemas Hiro akibat seseorang telah melihatnya berdansa, selain penjaga studio. Tidak ada seorang pun melihat Hiro berdansa sejauh ini. Tertarik apa lagi.
Kejadian hari ini membuatnya terkejut sampai ia harus menghentikan dansanya. Hiro menggeram.
Sambil melepas pengikat rambutnya dan memakai baju untuk pulang, Hiro berpikir kembali.
Jika wanita itu melihatku berdansa dari detik awal, ia membatin. Mengapa ia terus menontonku sampai saat aku menyadari keberadaannya? Apakah dia melihatku aneh?
***
“Selamat pagi,” sapa Renge kepada teman-teman kelasnya dengan senyum. Ia segera menuju bangku kelasnya dan mempersiapkan mejanya untuk pelajaran pertama.
Renge menghela nafas. Akibat insiden kemarin, Renge tidak sempat pergi ke toko buku seperti yang telah ia rencanakan. Ia merasa sangat bersalah karena telah mengintip pria yang berdansa kemarin. Tindakan itu sangat tidak sopan, pikirnya. Renge tidak bisa lepas dari perasaan itu sampai ia bisa bertemu dengan pria itu dan meminta maaf atas tindakannya kemarin.
Kalau ia tidak salah ingat, pria itu juga merupakan siswa Shizumida. Mungkin ia akan bertemu dengannya disini.
Panjang umur, Hironori sudah berada di dalam kelas, sedang duduk di bangkunya. Ia tidak bisa melepaskan pikirannya dari kejadian kemarin. Ia tidak bisa habis pikir (walaupun ia sudah berusaha namun nampaknya susah untuk benar-benar berhenti) apa yang akan dilakukan wanita itu setelah melihatnya berdansa. Selama hidup Hiro, orang yang melihatnya berdansa akan menertawakannya, mengejeknya, dan dilempar berbagai kata-kata yang tidak mengenakkan.
Karena itu ia merasa cemas sampai saat ini.
Ia mendengar ada siswi masuk ke dalam kelas dan menyapa teman-temannya.
Hiro melihat siswi itu dan kecemasan Hiro meningkat sekian ratus persen.
Itu adalah wanita yang mengintipnya kemarin.
"Sial," Hiro berbisik. Sadar akan situasinya yang tiba-tiba panik, ia berusaha menenangkan diri. Tenang, tetap tenang, tenang, pikirnya, berusaha membuat mukanya sedatar mungkin. Ia berusaha diam dan tenang di bangkunya. Jika perempuan itu melihatku, batinnya. Aku akan mati disini.
Setelah selesai menyiapkan mejanya, Renge akan mengeluarkan buku novel untuk dibacanya di waktu luang menunggu bel kelas. Namun, di ujung penglihatannya, ia melihat seseorang yang tidak asing. Ia menoleh ke arah orang itu dan dugaannya benar.
Itu adalah pria yang berdansa kemarin! Walaupun tampangnya sedikit berbeda karena rambutnya yang digerai tanpa ikat seperti pada saat ia berdansa.
Tak kusangka ternyata kita memang sekelas, batin Renge. Ia segera beranjak dari bangkunya dan memberanikan diri untuk menghampiri pria itu.
Ya, terkonfirmasi, Hironori akan mati disini.
Ia melihat wanita itu menghampirinya dari ujung penglihatannya. Apa yang akan ia lakukan? Yang jelas, pasti ia akan menyebut kejadian kemarin. Pasti ia akan mencoba memastikan bahwa ia adalah orang yang berdansa di studio kemarin. Hiro tidak akan mencoba untuk berbohong. Namun, ia hanya bisa berharap wanita itu tidak akan membuatnya merasa lebih buruk dari yang sekarang ini.
“Anu, selamat pagi...” ucap wanita itu pelan dengan ekspresi seperti ia telah ditangkap melakukan kesalahan.
Oh. Ya. Tentu saja, selalu diawali dengan sapaan formal. Hiro berusaha keras untuk menenangkan pikiran dan batinnya dan menatap balik wanita itu.
"Hm? Ah, pagi." Hiro membalas dengan senyum kecilnya. Hiro merasa yakin ekspresinya ramah, namun di dalam, ia bergejolak dan sangat menanti apa yang akan dikatakan wanita ini selanjutnya.
"Iya, aku ingin..." siswi itu berhenti berkata sejenak.
Ingin apa? Ingin bertanya, mengapa kau berdansa? Ingin tertawa? Mengapa ia berhenti ditengah kalimat? Tapi Hiro berusaha sabar dan menunggu wanita itu menyelesaikan perkataannya.
Siswi ini tampak bingung. Sepertinya ia sedang memilih apa yang akan dikatakannya. Pikirannya terus mengalir, membuat Hiro semakin cemas dan menyumpah dalam hati.
“...meminta maaf pada Isao-kun.” Lanjut siswi berambut panjang ikal itu.
Mungkin dunia sudah kiamat. Mungkin ia salah dengar.
“Kemarin aku tidak sopan dan mengganggu latihanmu, seharusnya aku tidak mengintip seperti itu,” kata siswi yang berada di depan bangkunya, lalu ia membungkukkan badannya. “Mohon maaf ya.”
Hironori membelalak. Ia tidak percaya apa yang dikatakan oleh wanita ini. Dari semua yang aku duga apa yang akan ia katakan, batinnya, ia meminta maaf!? Lelucon macam apa ini? Tidak pernah kutemui seseorang macam ini, ini pasti sebuah perangkap. Tidak mungkin ia meminta maaf setelah melihatku berdansa. Tidak mungkin!
Semuanya serba salah bagi Hiro.
Namun, setidaknya ia bisa menjadi lebih tenang. Ia bisa mencoba meluruskan pikirannya, yah sedikit. Hiro melihat siswi itu kembali. Siswi ini mengetahui namanya. Tentu saja, mereka satu kelas. Walaupun belum pernah interaksi secara langsung sebelumnya, siapapun dengan ingatan yang kuat ia akan mengingat semua siswa-siswi yang sekelas dengannya, meski nantinya akan menjadi samar jika tidak saling berkenalan langsung satu sama lain.
Hiro adalah salah satunya. Ia belum pernah berinteraksi dengan siswi ini. Ia bukan seseorang yang mudah mengingat nama, tetapi, jika ia tidak salah ingat, siswi ini adalah...
“Oh, ya, tidak masalah... um,” Hiro berusaha mengingat namanya. "...Yoshihiro.” Ia mengingat nama wanita yang satu ini karena... ya, namanya hampir sama dengannya.
Segala pikiran yang menganggunya ia singkirkan, Hiro menghela nafas dan tertawa kecil, "Tidak biasanya orang meminta maaf padaku. Kau yang pertama," Hiro mengangkat sebelah alisnya, "melihatku dan meminta maaf."
Melihat Hiro tidak marah padanya, Renge menghembuskan nafas lega. Ia menatap Hiro kembali dan tersenyum kecil, "Justru aku harus minta maaf, karena sepertinya dengan kehadiranku, aku jadi menggangu latihanmu."
Oh. Ya, kalau diingat kembali, kejadian kemarin membuat Hiro menghentikan dansanya dan pergi pulang. "Ah, benar juga. Itu karena tidak biasanya orang melihatku di studio, jadi..." Hiro mengangkat bahunya dan tertawa kecil. Lalu, Hiro menatap Renge kembali, "Mengapa kau berada disana? Kemarin seharusnya tidak ada jadwal latihan."
Renge tersenyum sedikit malu, "Studio itu dekat dengan rumahku,” balasnya sambil menggengam kedua tangannya di depan badannya sambil berbicara. “Jadi sekali atau dua kali aku suka melihat orang yang menari di dalam."
Oh astaga, dia menyebut kata itu. Hiro mulai sedikit panik dan segera berbisik dan mengangkat telunjuknya di depan mulutnya, "Hush, jangan menyebut kata 'menari' disini!" Hiro melirik kanan kiri, "Tidak ada yang tahu selain kau, dan aku ingin kau tidak menyebut apapun tentang aku... em, melakukan hal itu kemarin, mengerti?" Wajah Hiro mengerut.
Namun, jika dipikir-pikir, sepertinya Renge belum menyebar semacam gosip tentang dirinya berdansa. Atau mungkin dia belum mendengarnya. Hiro belum bisa lepas waspada.
Renge sedikit terkejut ketika Hiro memintanya untuk tidak menyebut kata ‘menari’. Apakah ia menyembunyikan hal ini? Ia menjadi sedikit penasaran, tapi memutuskan untuk tidak bertanya lebih. Renge mengangguk kecil.
Lalu Hiro menghela nafas dan kembali mengambil posisi rileks di bangkunya. "Oh, begitukah," Hiro mengangkat sebelah alisnya. "Sudah berapa lama kau mengintipku seperti itu?" Kemungkinan orang ini sudah beberapa kali melihatnya dan ia tidak menyadarinya. Tentu saja, pikir Hiro, memutar matanya dalam hati. Ketika aku berdansa, rasanya sekitarku menjadi hilang.
"T-tidak begitu lama harusnya, mungkin sekitar semenit...” jawab Renge dengan muka bersalahnya. “Sekali lagi aku minta maaf sudah tidak sopan." Renge menundukkan kepalanya.
Semenit? Hiro mengernyitkan dahinya. Oh, mungkin maksudnya dari kejadian kemarin Renge hanya mengintipnya selama itu. Berarti wanita ini belum pernah melihatnya berdansa sebelum hari kemarin.
Pertanda bagus.
Namun tidak juga. Wanita ini telah mengetahui rahasia yang ia kubur dalam-dalam. Walaupun ia sudah yakin suatu hari kejadian seperti ini akan terjadi, namun ia tidak menduga akan terjadi secepat ini. Dan seperti ini.
Hironori mengusap tengkuknya. Ia sangat bingung. Wanita ini sangat aneh, pikirnya. Mengapa dia minta maaf, sih? Seharusnya dia tertawa di depan mukaku saja karena dansa yang aneh itu! Hironori tidak terbiasa dengan sikap wanita yang sopan dan meminta maaf darinya dengan tulus ini. Ia menggeram dalam hati.
Hironori menghela nafas kesekian kalinya. "Ya... selama kau tidak mengagetkanku seperti itu lagi," Hiro bergumam dan mengangkat bahunya pelan. Ia tidak marah, tidak. Hanya saja ia sedikit kecewa karena ia tidak bisa menyelesaikan dansanya kemarin, lalu dipenuhi rasa gelisah yang diakhiri dengan permintaan maaf dari sang pelaku.
"Kau tahu," Hiro menatap lurus ke mata Renge dengan tatapan datar. "Kau... sedikit aneh," Hiro berkata terus terang.
"Aneh? O-oh," Renge sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan Hiro. Apakah ia membuatnya marah? Tapi, ia tidak terlihat marah... Lalu mengapa tiba-tiba ia mengatakan hal itu? Apakah ada hal yang menyinggungnya?
Bel masuk berbunyi. Pertanda akan dimulainya kelas. Hiro menyeringai, "Kita bisa lanjut nanti, ya, jika masih ada yang ingin kau omongkan," Ia tertawa, walaupun tak ada yang lucu, sih.
Namun ekspresinya menjadi serius dan berkata, "Aku serius tentang kejadian kemarin. Aku harap kau bisa menyimpan rahasiaku dengan baik." Hironori menatap Renge dengan sedikit ketajaman, menunjukkan ia benar-benar serius.
"O-oh, baiklah, tenang saja,” Renge membalas dengan senyum. “Aku tidak akan memberitahu orang lain tentang ini." Ia berbalik badan dan kembali ke kursinya.
Hiro melihat punggung Renge yang kembali ke bangkunya dengan tatapan runcing.
Dan sesi jam kelas pertama pun di mulai.